
Pantau - DPR RI menyatakan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 dan Pasal 1320 butir 4 KUH Perdata tetap memiliki kekuatan hukum mengikat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam sidang lanjutan Pengujian Materiil UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang penggunaan bahasa dalam perjanjian untuk Perkara Nomor 173 dan 188/PUU-XXIII/2025.
Dalam sidang tersebut, DPR diwakili oleh Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, yang hadir sebagai kuasa hukum DPR.
Penegasan DPR soal Kewajiban Bahasa Indonesia dalam Kontrak
I Wayan Sudirta menyampaikan bahwa kewajiban mencantumkan Bahasa Indonesia dalam kontrak merupakan bagian penting dalam menjaga kedaulatan hukum nasional.
Menurutnya, ketentuan ini tidak bersifat formalitas semata, melainkan merupakan instrumen perlindungan hukum agar pihak Indonesia tidak dirugikan dalam kontrak, khususnya dalam hubungan kontraktual dengan pihak asing.
"Kewajiban penggunaan Bahasa Indonesia tidak untuk menggugurkan kontrak berbahasa asing, tetapi untuk memastikan pihak Indonesia terlindungi dan tidak dirugikan oleh perbedaan pemahaman," ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak bisa ditafsirkan sebagai pelarangan penggunaan bahasa asing dalam perjanjian internasional.
Kewajiban mencantumkan versi Bahasa Indonesia justru merupakan bentuk penghormatan terhadap kedaulatan hukum nasional.
Ia menjelaskan bahwa penggunaan bahasa asing dalam kontrak tetap sah, selama disertai versi Bahasa Indonesia yang memiliki kedudukan hukum sejajar atau menjadi acuan utama jika terjadi perbedaan penafsiran.
"Ketentuan ini memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi subjek hukum Indonesia agar memahami secara utuh hak dan kewajibannya dalam setiap hubungan kontraktual, baik domestik maupun internasional," ujarnya.
Bahasa Bukan Penentu Sah atau Tidaknya Perjanjian
Sudirta menyatakan bahwa ketentuan tersebut merupakan lex imperfecta, yaitu norma yang tidak disertai sanksi, namun tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Menurutnya, munculnya tafsir berbeda di lapangan bukan karena lemahnya norma hukum, melainkan akibat implementasi yang tidak seragam.
"Tidak adanya sanksi bukan berarti normanya lemah. Justru norma ini memberi pedoman agar Bahasa Indonesia menjadi dasar kepastian hukum," ia mengungkapkan.
Ia juga menolak pandangan yang menyatakan bahwa bahasa merupakan bagian dari unsur "sebab yang halal" dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Menurutnya, bahasa tidak pernah menjadi faktor yang menentukan sah atau tidaknya suatu perjanjian perdata.
Lebih lanjut, Sudirta mengingatkan bahwa jika permohonan pemohon dikabulkan dan kontrak berbahasa asing tanpa terjemahan dianggap batal demi hukum, maka hal itu akan bertentangan dengan prinsip perjanjian dalam KUH Perdata.
Ia menilai bahwa situasi tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum baru.
"Memaksa kontrak berbahasa asing menjadi batal demi hukum hanya karena persoalan bahasa jelas tidak dimaksudkan pembentuk undang-undang," tegasnya.
- Penulis :
- Shila Glorya







