
Pantau - Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menegaskan bahwa DPR tetap memiliki peran dalam pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (4) UU TNI yang diuji di Mahkamah Konstitusi.
Utut menyampaikan hal tersebut dalam sidang lanjutan perkara Nomor 197/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi pada Rabu, 3 Desember 2025.
Dalam pernyataannya, Utut membantah dalil para pemohon yang berasal dari koalisi masyarakat sipil yang menilai bahwa pengaturan OMSP dalam UU Nomor 3 Tahun 2025 menghilangkan peran konstitusional DPR.
"Tidak tepat apabila dinyatakan DPR kehilangan peran dalam OMSP," ungkapnya dalam sidang.
DPR: Pengawasan Tetap Berjalan Melalui Komisi I
Utut menjelaskan bahwa DPR memiliki alat kelengkapan berupa komisi yang secara aktif melakukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Komisi I DPR, yang membidangi pertahanan dan keamanan, memiliki mitra kerja seperti Kementerian Pertahanan dan TNI.
"Mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh komisi dapat dilaksanakan melalui rapat kerja, pembentukan panitia kerja, maupun melalui kunjungan kerja," ia mengungkapkan.
Utut juga menolak permintaan para pemohon yang menginginkan OMSP dipersamakan dengan Operasi Militer untuk Perang (OMP), yang harus didasarkan pada keputusan politik negara.
Ia mengutip Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain".
Menurut Utut, OMSP merupakan bagian dari tugas pokok TNI yang berlaku dalam kondisi non-perang, sehingga tidak memerlukan keputusan politik negara seperti OMP.
"Pelaksanaan OMSP sudah tepat diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan presiden," tegasnya.
Koalisi Sipil Nilai Peran DPR Dikesampingkan
Sidang tersebut merupakan kelanjutan dari uji materi yang diajukan oleh koalisi masyarakat sipil terhadap Pasal 7 ayat (4) UU TNI.
Koalisi tersebut terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, AJI Indonesia, YLBH APIK Jakarta, serta tiga pemohon perorangan.
Mereka mempermasalahkan ketentuan bahwa pelaksanaan OMSP hanya diatur melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden, tanpa keterlibatan langsung DPR.
Para pemohon berpendapat bahwa pengerahan TNI, baik dalam bentuk OMP maupun OMSP, harus berlandaskan pada keputusan politik negara yang melibatkan persetujuan DPR.
Dalam dokumen permohonan mereka dinyatakan, "Pemberian pertimbangan dan persetujuan DPR kepada Presiden, dalam hal pelaksanaan persyaratan kebijakan dan keputusan politik negara, kaitannya dengan pelaksanaan OMSP, seharusnya juga serupa dengan pelaksanaan OMP, yang melibatkan pemerintah—presiden dan DPR di saat yang bersamaan, dalam pengambilan keputusan".
Koalisi masyarakat sipil meyakini bahwa keterlibatan DPR dalam OMSP sangat penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan wewenang dalam pengerahan kekuatan militer di luar kondisi perang.
Dalam petitum mereka, pemohon meminta agar Pasal 7 ayat (4) diubah menjadi: "Pelaksanaan operasi militer selain perang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara".
- Penulis :
- Shila Glorya








