
Pantau - Guru Besar Lingkungan dan Kebencanaan UGM, Prof Dwikorita Karnawati, mengusulkan pembentukan lembaga khusus untuk mempercepat penanganan banjir dan longsor di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh.
Usulan Pembentukan Lembaga Khusus dan Kebutuhan Koordinasi Terpadu
"Dengan skala kerusakan sebesar ini, mekanisme rutin tampaknya tidak lagi memadai. Kita memerlukan lembaga lintas sektor yang mampu bekerja terpadu dan cepat", ujar Dwikorita.
Ia menjelaskan rangkaian banjir bandang, longsor, serta kerusakan infrastruktur menimbulkan dampak multidimensi yang tidak dapat ditangani dengan mekanisme penanggulangan bencana reguler.
Sistem penanggulangan yang disusun sejak 2007 dinilai belum dirancang untuk menghadapi multi-bencana yang dipicu kompleksitas perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin serius.
Kondisi tersebut membutuhkan sistem penanganan yang lebih kuat, terutama pada pencegahan dan mitigasi jangka panjang agar prinsip build back better dapat diterapkan.
Ia menegaskan, "Bencana kali ini merupakan multi-bencana dengan penyebab dan dampak yang saling memperkuat", katanya.
Ia menyatakan pemulihan memerlukan mekanisme khusus yang cepat, taktis, dan masif, serta terpisah dari pola rutin agar koordinasi lintas sektor dapat diperkuat.
Ia mengingatkan efektivitas model BRR NAD–Nias pascatsunami 2004 sebagai contoh keberhasilan lembaga dengan mandat terintegrasi.
Pembentukan lembaga khusus dianggap bukan keputusan administratif semata, tetapi langkah strategis agar negara hadir sepenuhnya dalam membangun kembali Sumut, Sumbar, dan Aceh di tengah risiko bencana yang meningkat.
Ia merekomendasikan pemerintah menyusun kajian komprehensif bersama kementerian teknis, BNPB, pemda, akademisi, dan komunitas kebencanaan dengan mempertimbangkan perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan proyeksi bahaya hidrometeorologi.
Ia menegaskan, "Pemulihan harus disiapkan untuk menghadapi kejadian ekstrem yang berpotensi berulang", ujarnya.
Dampak Perubahan Iklim dan Peningkatan Risiko Multi-Bencana
Dwikorita menjelaskan bencana di tiga wilayah merupakan dampak nyata dari kerentanan geologi Indonesia yang diperparah kerusakan lingkungan dan perubahan iklim.
Kondisi tersebut memicu bencana geo-hidrometeorologi berantai dengan intensitas yang jauh melampaui kejadian sebelumnya.
Ia merujuk laporan iklim yang menunjukkan 2024 sebagai tahun terpanas dalam sejarah pencatatan modern, dengan anomali suhu global +1,55°C di atas pra-industri.
Catatan BMKG menunjukkan lonjakan kejadian cuaca ekstrem dari 2.483 pada 2020 menjadi 6.128 pada 2024, seiring tren meningkatnya curah hujan di kawasan barat Indonesia.
Realitas tersebut meningkatkan risiko banjir bandang, aliran debris, dan gerakan tanah terutama di daerah bertopografi curam dan mengalami perubahan tata guna lahan.
Ia mengatakan, "Hujan ekstrem yang dulunya jarang, kini mulai muncul berulang. Ini yang menyebabkan banjir bandang di Sumatra datang dengan daya rusak yang jauh lebih besar", ungkapnya.
Dinamika geologi dan hidrometeorologi yang saling memicu serta diperburuk kerusakan lingkungan membuat satu kejadian dapat memunculkan rangkaian bencana susulan.
Ia memperingatkan, "Selama musim hujan, potensi banjir bandang lanjutan masih sangat tinggi. Saat rehabilitasi baru dimulai, hujan ekstrem bisa datang lagi dan memaksa daerah terdampak kembali ke fase tanggap darurat kembali", ujarnya.
- Penulis :
- Aditya Yohan








