
Pantau - Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat berdampak pada sedikitnya 3,3 juta warga, dengan sekitar 995 orang meninggal dunia berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana hingga Sabtu, 13 Desember 2025.
Ribuan korban lainnya dilaporkan mengalami luka-luka dengan tingkat keparahan ringan hingga berat, sementara hampir satu juta jiwa terpaksa mengungsi akibat bencana tersebut.
Kerusakan Infrastruktur dan Lingkungan
Puluhan ribu bangunan mengalami kerusakan parah, termasuk rumah penduduk, sekolah, serta jembatan yang menjadi akses vital masyarakat.
Banjir bandang juga menyebabkan kerusakan besar pada keanekaragaman hayati karena banyak flora dan fauna mati atau kehilangan habitat sehingga keseimbangan ekosistem terganggu.
Bencana ini dipandang sebagai salah satu konsekuensi perubahan iklim yang dipicu aktivitas manusia, yang menyebabkan kenaikan permukaan air laut serta meningkatnya kejadian cuaca ekstrem.
Cuaca ekstrem tersebut meliputi gelombang panas, kekeringan, kebakaran hutan, hingga curah hujan lebat yang tidak menentu, dengan fluktuasi hujan ekstrem menjadi pemicu utama terjadinya banjir.
Data AHA Centre 2025 menunjukkan banjir merupakan jenis bencana paling sering terjadi di kawasan ASEAN, mencakup sekitar 63 persen dari seluruh peristiwa bencana yang dilaporkan negara-negara di kawasan tersebut.
Ancaman Penyakit Pascabanjir
Kondisi pascabanjir memiliki risiko tinggi terhadap munculnya berbagai penyakit, meskipun laporan sistematis mengenai penyakit terkait banjir masih tergolong terbatas.
Literatur sejarah dan laporan yang tersedia kerap menyoroti leptospirosis, diare, demam tifoid, malaria, serta demam berdarah sebagai penyakit yang paling umum muncul setelah banjir.
Terdapat kesenjangan antara dokumentasi kejadian banjir dan pelaporan wabah penyakit, karena informasi terkait wabah pascabanjir umumnya muncul melalui pemberitaan media atau pernyataan resmi pemerintah.
- Penulis :
- Aditya Yohan








