
Pantau - Eksekusi bangunan rumah adat Tongkonan Ka’pun di Kecamatan Kurra, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pada 5 Desember 2025, meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat yang peduli terhadap pelestarian adat dan sejarah Toraja.
Bangunan tongkonan yang dipercaya telah berdiri selama kurang lebih 300 tahun itu diratakan dengan tanah berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Makale, sebagai bagian dari penyelesaian sengketa tanah antarkeluarga.
Sengketa terjadi antara dua pihak yang sama-sama berasal dari Tongkonan Tanete, masing-masing mengklaim memiliki hak atas tanah berdasarkan garis keturunan dan riwayat pengabdian kepada orang tua angkat.
Dalam adat Toraja, tanah tongkonan merupakan hak kolektif keluarga berdasarkan garis keturunan darah, tidak bisa dibagi atau diwariskan kepada pihak di luar keturunan langsung.
Sengketa ini telah berlangsung sejak tahun 1980-an dan melibatkan berbagai upaya mediasi, termasuk oleh Pengadilan Negeri Makale dan Bupati Tana Toraja, namun tidak membuahkan hasil damai.
Hilangnya Simbol Adat karena Sengketa Keluarga
Perobohan tongkonan membawa dampak besar, tidak hanya secara fisik, tetapi juga terhadap jati diri budaya masyarakat Toraja.
Tesis Dr Sulastriyono SH MSi dari Universitas Gadjah Mada menguatkan bahwa pewarisan tanah tongkonan semestinya mengikuti garis keturunan langsung dan tidak memperbolehkan anak angkat menjadi ahli waris.
Namun dalam praktiknya, beberapa keturunan anak angkat tetap mengklaim hak kepemilikan atas tanah dan bangunan tongkonan, memicu konflik panjang.
Selain itu, faktor lain seperti kepemilikan istri kedua oleh pemilik tongkonan dan keberadaan keturunan pekerja atau budak yang menetap di sekitar tongkonan turut memperumit situasi.
Setelah beberapa generasi, klaim atas tanah tongkonan oleh pihak-pihak ini menimbulkan gesekan, terutama ketika dilakukan proses sertifikasi tanah oleh keturunan asli.
Akibatnya, tongkonan sebagai bangunan sakral dan simbol persatuan keluarga adat justru menjadi korban ego dan kebekuan hati para pihak yang bersengketa.
Respon Pemerintah dan Implikasi terhadap Pelestarian Budaya
Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Kementerian Kebudayaan, Restu Gunawan menyatakan bahwa pemerintah menghormati proses hukum yang berlangsung, namun tetap menyoroti dampak budaya yang ditimbulkan.
"Peristiwa ini bukan sekadar sengketa lahan, tetapi juga menyangkut keberlanjutan warisan budaya Toraja yang memiliki nilai sejarah, arsitektur, dan identitas sosial masyarakatnya. Negara wajib hadir memastikan bahwa proses hukum tidak berdampak pada hilangnya nilai tradisi," ungkapnya.
Eksekusi ini merupakan kelanjutan dari sengketa yang terjadi sejak tahun 1986 antara keluarga Sarra dan keluarga Roreng, dengan objek sengketa meliputi satu tongkonan tua, dua tongkonan baru, enam lumbung padi, dan dua rumah semi permanen.
Berdasarkan penelusuran awal, Tongkonan Ka’pun yang dibongkar tidak lagi memiliki fungsi adat dan belum ditetapkan sebagai cagar budaya, meskipun sempat didata sebagai Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) pada tahun 2017.
Peristiwa ini menyoroti pentingnya pembaruan data dan pemetaan menyeluruh terhadap permukiman adat Toraja, termasuk status kepemilikan tanah dan fungsi sosial-budaya bangunan adat.
Langkah Ke Depan untuk Menjaga Warisan Budaya Toraja
Kementerian Kebudayaan berkomitmen untuk memperkuat pemetaan dan perlindungan kawasan permukiman tradisional Toraja, bekerja sama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX Sulawesi Selatan, pemerintah daerah, akademisi, BRIN, dan lembaga adat.
Perlindungan tersebut akan mencakup regulasi, penguatan kelembagaan adat, penataan tata ruang wilayah, serta penyempurnaan mekanisme penetapan cagar budaya.
Pemerintah juga akan mendorong penyempurnaan kebijakan pelestarian budaya di tingkat daerah agar rumah adat dan sistem budaya Toraja tetap terlindungi dalam rencana pembangunan.
Eksekusi Tongkonan Ka’pun diharapkan menjadi pembelajaran bersama agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi dan warisan bersejarah tidak punah.
Tongkonan yang telah berusia ratusan tahun seharusnya dapat terus dilihat dan dipelajari oleh masyarakat Toraja, Indonesia, bahkan dunia, bukan hanya dari gambar, video, atau cerita.
- Penulis :
- Leon Weldrick







