Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Praktisi Hukum Desak DPR Tindaklanjuti Putusan MK Terkait Pasal Multitafsir di UU Tipikor

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Praktisi Hukum Desak DPR Tindaklanjuti Putusan MK Terkait Pasal Multitafsir di UU Tipikor
Foto: (Sumber: Ketua Umum IKADIN Maqdir Ismail menyampaikan keterangan kepada wartawan saat konferensi pers Forum Peduli Advokat Indonesia di Jakarta, Rabu (26/3/2025). . ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/tom..)

Pantau - Praktisi hukum Maqdir Ismail mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang dinilai mengandung multitafsir dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

MK dalam putusannya mengakui bahwa kedua pasal tersebut rentan dimaknai berbeda oleh aparat penegak hukum dan merekomendasikan agar pembentuk undang-undang merumuskan ulang norma tersebut.

“Ini menurut saya merupakan perdebatan yang tidak akan ada habisnya tanpa adanya kebijakan tentang politik hukum dalam pemberantasan korupsi yang jelas,” ujar Maqdir pada Jumat (19/12/2025).

KUHP Baru Sudah Berlaku, Tapi Ketidakpastian Hukum Masih Mengancam

Maqdir menjelaskan bahwa Pasal 2 dan 3 UU Tipikor telah dimasukkan ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai Pasal 603 dan 604, yang akan mulai berlaku tahun depan.

Namun, ia mengaku bingung atas permintaan MK agar DPR memperbaiki pasal-pasal lama tersebut sementara ketentuan baru dalam KUHP telah disahkan.

Sebagai kuasa hukum para pemohon, Maqdir menilai rekomendasi MK itu menjadi dasar bagi pihaknya untuk kembali menggugat Pasal 603 dan 604 KUHP atas dasar ketidakpastian hukum yang belum teratasi.

Menurutnya, konsep kerugian keuangan negara sebagai unsur utama dalam tindak pidana korupsi hanya diterapkan di Indonesia.

Ia mencontohkan Myanmar, yang tegas memberantas korupsi namun tidak menggunakan unsur kerugian negara, melainkan fokus pada suap, penyalahgunaan wewenang, atau perbuatan melawan hukum.

Maqdir berharap agar pemberantasan korupsi di Indonesia tidak hanya bertumpu pada unsur kerugian negara karena dapat menjadi ilusi dari perhitungan yang tidak nyata.

“Ini bukan kontestasi penegak hukum yang merasa bahwa perkara yang ditanganinya lebih besar dari perkara lain,” tegasnya.

Pemohon Soroti Risiko Kriminalisasi Pejabat Publik

Salah satu pemohon, Hotashi Nababan, menyatakan bahwa uji materi ini bertujuan melindungi pejabat publik dan direksi BUMN dari risiko kriminalisasi akibat pasal yang multitafsir.

“Saya sangat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun, melihat perkara yang terjadi pada Tom Lembong, Ira Puspadewi, dan banyak lagi, maka akan bertambah lagi orang-orang yang dikriminalisasi, seperti saya dengan ditolaknya judicial review ini,” ujarnya.

Hotashi menyebut bahwa penggunaan unsur kerugian keuangan dan perekonomian negara tanpa pembuktian niat jahat (mens rea) sangat berisiko.

Dalam putusan perkara nomor 142/PUU‑XXII/2024 dan 161/PUU‑XXII/2024 yang dibacakan pada Rabu, 17 Desember 2025, MK menolak seluruh permohonan.

Namun MK mengakui adanya diskursus soal multitafsir dan ketidakkonsistenan penerapan oleh aparat penegak hukum terhadap Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, dan tetap merekomendasikan agar DPR melakukan kajian ulang.

Dalam putusan perkara 161/PUU‑XXII/2024, terdapat dissenting opinion dari Hakim MK Arsul Sani.

Ia menilai bahwa permohonan seharusnya dikabulkan sebagian, dan menyarankan agar Pasal 2 ayat (1) ditambahkan frasa "dengan maksud" sebagai unsur pembuktian adanya niat jahat.

Para pemohon uji materi dalam perkara ini terdiri dari Syahril Japarin (mantan Direktur Utama Perum Perindo), Kukuh Kertasafari (mantan pegawai Chevron Indonesia), Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara), dan Hotashi Nababan (mantan Direktur Utama Merpati Airlines).

Mereka meminta MK menghapus frasa “kerugian keuangan negara” dari Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, atau setidaknya menambahkan syarat unsur suap dan niat jahat.

Penulis :
Aditya Yohan