
Pantau - Kasus buronan legendaris KPK yaitu Harun Masiku kembali mencuat pada tahun terakhir masa jabatan Pimpinan KPK. Mantan kader PDIP tersebut ternyata pernah diketahui menyamar sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu pulau diluar Indonesia.
Salah satu mantan penyidik KPK Praswad Nugraha yang nasibnya tersingkirkan polemik Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menceritakan terkait kasus Harun Masiku tersebut.
"Benar pada awal tahun 2021 tim gabungan penyidik dan penyelidik dibentuk untuk mengejar buron Harun Masiku telah berhasil dan mengonfirmasi keberadaan Harun Masiku," kata Praswad, Minggu (16/6/2024).
Praswad mengatakan penyidik mengidentifikasi Harun Masiku berada disalah satu pulau dekat dengan Indonesia dan menyamar sebagai guru Bahasa Inggris.
"Pada masa tersebut, Harun Masiku teridentifikasi tinggal di salah satu pulau di luar teritori Indonesia. Dia berada di suatu pulau dan menggunakan cover sebagai guru Bahasa Inggris," ujar Praswad.
Praswad menjelaskan alasan dirinya baru menceritakan terkait kasus tersebut. Ia menuturkan saat itu tim penyidikan telah siap melakukan penangkapan tetapi harus melapor ke Pimpinan KPK.
"Untuk menjalankan tugas, khususnya ke luar wilayah Indonesia, dibutuhkan surat tugas dari Pimpinan KPK. Pimpinan akhirnya harus dilaporkan," jelas Praswad.
Kemudian, Praswad menuturkan saat itu KPK yang dipimpin oleh Firli Bahuri yang setelahnya menjadi tersangka kasus dugaan pemerasan terkait Syahrul Yasin Limpo (SYL) tiba-tiba terdapat penonaktifan pegawai.
"Setelah dilaporkan tersebut tiba-tiba adanya penonaktifan pegawai yang dinyatakan TWK walaupun belum memasuki masa jangka waktu pemberlakuan UU KPK hasil revisi yang baru," tutur Praswad.
Praswad mengungkapkan sejak saat itu dirinya tak mempercai pemimpin KPK ingin mengungkap kasus Harun Masiku.
"Itulah yang memperkuat dugaan bahwa sebetulnya TWK dibentuk untuk menghentikan langkah penyidikan yang sedang berjalan, yang salah satunya adalah kasus Harun Masiku. Pada kondisi inilah, saya tidak percaya Pimpinan KPK memang mau menangkap Harun Masiku karena pada saat akan ditangkap di masa lalu pun, malah Pimpinan KPK menerapkan TWK dengan penonaktifan pegawai sesegera mungkin. Penangkapan Harun Masiku tidak lebih dari bahan bargain yang tidak akan kunjung direalisasikan," ungkap Praswad.
Terkait benar atau tidaknya cerita Praswad tersebut hanya waktu yang dapat menjawab. Saat ini, Kasus Harun Masiku merupakan beban masa lalu yang harus dituntaskan dan ditanggung oleh KPK.
Diketahui, Harun Masiku ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait dengan penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 di Komisi Pemulihan Umum (KPU) Republik Indonesia.
Meski demikian, Harun Masiku selalu mangkir dari panggilan penyidik KPK hingga dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020. Selain Harun, pihak lain yang terlibat dalam perkara tersebut adalah anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Wahyu Setiawan juga merupakan terpidana dalam kasus yang sama dengan Harun Masiku. Saat ini tengah menjalani bebas bersyarat dari pidana 7 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang, Jawa Tengah.
KPK menjebloskan Wahyu Setiawan ke balik jeruji besi berdasarkan putusan MA Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021 juncto putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo. putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap.
Terpidana Wahyu Setiawan juga dibebani kewajiban membayar denda sejumlah Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Wahyu juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.
Sebelumnya, amar putusan kasasi terhadap Wahyu Setiawan adalah menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.
- Penulis :
- Fithrotul Uyun
- Editor :
- Fithrotul Uyun