
Pantau - Pakar hukum kepemiluan, Titi Anggraini, menilai langkah KPU yang menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) tentang batas usia calon kepala daerah sebagai bentuk penyimpangan tata kelola pemilu.
Menurut Titi, putusan tersebut seharusnya tidak diimplementasikan pada Pilkada 2024 karena dikabulkan saat tahapan pemilu sedang berlangsung.
"Secara teknis kepemiluan tak bisa dilaksanakan di Pilkada 2024. Seharusnya baru bisa dilaksanakan setelahnya," ujar Titi di Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Titi menjelaskan, dalam tata kelola kepemiluan, bila gugatan soal Pilkada diputuskan di masa tahapan Pilkada, putusan itu baru berlaku untuk pilkada periode selanjutnya.
Apalagi, putusan MA ini berkaitan dengan waktu keserentakan pelantikan. Pilkada belum memiliki rancangan keserentakan waktu pelantikan yang harus dirumuskan sebelum masuk tahapan awal pilkada.
"Berbeda dengan desain tata kelola Pilpres yang sudah menentukan jadwal pada 20 Oktober. Kalau Pilkada belum ada desain keserentakan Pilkada," kata Titi.
Menurut Titi, jadwal keserentakan pelantikan harus dibahas dan masuk dalam rangkaian tahapan Pilkada. Penentuan keserentakan pilkada juga perlu mempertimbangkan berbagai hal, termasuk masa waktu sengketa dan hasil sengketa Pilkada.
"Bisa saja hasil sengketa Pilkada menetapkan pemungutan suara ulang, rekapitulasi suara," tambahnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung memutuskan memperluas tafsir syarat usia calon kepala daerah dalam PKPU Nomor 9 Tahun 2020, yang menuai kritik dari pakar dan sejumlah pengamat politik.
Dalam putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 disebutkan bahwa batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih.
Sejumlah pegiat menilai putusan ini sebagai upaya memberikan karpet merah bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, agar bisa maju dalam Pilkada 2024.
- Penulis :
- Aditya Andreas