
Pantau - Lembaga survei Indikator Politik Indonesia tengah menjadi sorotan setelah merilis hasil survei Pilgub Maluku Utara yang diduga mengandung data tidak akurat.
Selain angka yang dianggap tidak sesuai, hasil survei tersebut juga menampilkan beberapa kategori etnis yang tidak dikenal oleh masyarakat setempat.
Direktur Indonesia Anti-Corruption Network (IACN), Igriza Majid menyampaikan keraguannya atas keakuratan survei yang dipimpin oleh Burhanuddin Muhtadi.
Ia mengkritik, hasil survei ini menunjukkan pasangan calon (paslon) Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe unggul dengan 40,7%, jauh di atas paslon lainnya. Menurutnya, terdapat ketidaksesuaian angka dalam hasil survei ini, yang bahkan menghasilkan total persentase melebihi 100%.
"Survei ini menyebut Sherly-Sarbin unggul dengan 40,7%, disusul Husain Alting Sjah-Asrul Rasyid Ichsan 20,7%, Muhammad Kasuba-Basri Salama (MK Bisa) 15,5%, dan Aliong Mus-Sahril Thahir (AM-SAH) 10,4%. Sementara itu, responden yang tidak menentukan pilihan mencapai 12,8%. Jika diakumulasikan, jumlah ini melebihi 100%, yakni 100,1%,” papar Igriza, Selasa (12/11/2024).
Baca Juga: KPU Sumbar Siapkan Langkah Antisipasi untuk Jaga Hak Suara Pemilih Disabilitas di Pilkada 2024
Selain ketidaksesuaian angka, survei ini juga menimbulkan pertanyaan terkait demografi etnis yang disajikan. Misalnya, beberapa kategori etnis seperti “Halmahera” dan “Butong” muncul dalam hasil survei, meskipun etnis ini tidak dikenal di Maluku Utara.
“Nama-nama seperti Halmahera, Butung, dan Butong tidak pernah kami dengar di sini. Jika maksudnya adalah Bitung, mungkin itu hanya kesalahan ketik, namun Halmahera dan Butong tidak dikenal di wilayah kami,” ungkapnya.
Igriza juga menyoroti ketidaksesuaian data di basis etnis tertentu. Pada etnis Galela, misalnya, total persentase responden hanya mencapai 99,9%, sementara pada etnis lainnya seperti Buton dan Butong justru melebihi 100,1%. Ia menilai, ketidaksesuaian ini menunjukkan lemahnya validitas data yang disajikan.
Tidak hanya itu, menurutnya, beberapa hasil survei terkesan tidak representatif secara etnis. Ia mempertanyakan temuan bahwa Sherly Tjoanda disebut lebih unggul di etnis Togale meski tidak memiliki hubungan etnis dengan kelompok tersebut, sementara Muhammad Kasuba, satu-satunya calon dari etnis Togale, justru memiliki dukungan lebih rendah.
Lebih lanjut, Igriza juga menyoroti penggunaan nama Sherly Laos dalam survei, padahal nama resmi yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) adalah Sherly Tjoanda.
“Perubahan nama belakang ini harus sesuai dengan ketentuan negara dan disahkan melalui pengadilan. Jika tidak ada penetapan resmi, maka kuasa hukum paslon lain dapat mempertanyakan validitas penggunaan nama tersebut di ranah hukum,” jelasnya.
Igriza mendesak pihak berwenang untuk menyelidiki dugaan pembohongan publik yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia. Ia juga meminta agar semua data yang dipublikasikan terkait Pilgub Maluku Utara memenuhi standar validitas dan akurasi yang tinggi untuk menjaga kepercayaan publik.
- Penulis :
- Aditya Andreas