
Pantau - Puasa Ramadan adalah kewajiban bagi umat Muslim di seluruh dunia. Tidak hanya dalam Islam, berbagai agama besar juga menganjurkan puasa atau pantangan tertentu bagi penganutnya. Selama Ramadan, umat Muslim menahan diri dari makan, minum, serta aktivitas lainnya dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Makanan utama selama Ramadan adalah sahur sebelum fajar dan iftar setelah matahari terbenam. Selain menahan lapar dan haus, puasa juga melatih pengendalian diri dari berbagai perilaku negatif. Namun, banyak yang belum mengetahui bahwa puasa ternyata ada kaitannya dengan kesehatan mental. Yuk simak lebih lanjut!
Kemiripan dengan Intermittent Fasting

Puasa Ramadan memiliki kesamaan dengan metode puasa intermiten atau intermittent fasting, yang melibatkan periode makan dan tidak makan pada waktu tertentu. Jenis puasa intermiten mencakup puasa berkala, puasa selang-seling, dan pembatasan waktu makan. Penelitian menunjukkan bahwa puasa intermiten bermanfaat bagi kesehatan fisik, seperti menurunkan risiko kanker, penyakit kardiovaskular, dan mengatur respons inflamasi pada infeksi.
Baca juga: Rokok dan Vape, Apakah Membatalkan Puasa?
Dampak Puasa Ramadan terhadap Kesehatan Mental

Selain manfaat fisik, penelitian dalam The Egyptian Journal of Neurology, Psychiatry and Neurosurgery yang berjudul "The efect of Ramadan fasting on mental health and some hormonal levels in healthy males" oleh Akan dkk menunjukkan bahwa puasa juga berdampak positif pada kesehatan mental. Studi mengungkapkan bahwa puasa dapat meningkatkan kewaspadaan, suasana hati, kesejahteraan subjektif, dan bahkan memunculkan perasaan euforia.
Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa puasa Ramadan dapat menurunkan tingkat depresi dan meningkatkan kesehatan mental mahasiswa. Studi lain yang mengukur kecemasan menggunakan Hamilton Anxiety Rating Scale menemukan bahwa peserta mengalami penurunan kecemasan setelah Ramadan. Studi di Turki terhadap tenaga medis pria juga melaporkan penurunan signifikan dalam gejala obsesif-kompulsif, sensitivitas interpersonal, dan gangguan paranoid setelah Ramadan.
Penelitian ini dilakukan dengan persetujuan Komite Etik Penelitian Klinis Universitas. Sampel penelitian terdiri dari tenaga kesehatan pria di rumah sakit universitas, dengan total 40 peserta. Kriteria inklusi mencakup rentang usia 18–65 tahun, indeks massa tubuh (BMI) antara 19 dan 24,9, serta tidak memiliki penyakit fisik atau gangguan psikiatri yang dapat memengaruhi hasil penelitian. Peserta juga tidak boleh melewatkan hari puasa selama Ramadan.
Baca juga: Apakah Menelan Ludah Bisa Membatalkan Puasa? Berikut Penjelasannya!
Dari 40 peserta, 30% merupakan dokter, 45% perawat, dan 25% tenaga administrasi medis. Rata-rata usia mereka adalah 31,5 tahun dengan BMI 23,76. Sebanyak 70% peserta sudah menikah.
Setelah Ramadan, terdapat penurunan signifikan dalam skor sensitivitas interpersonal dan kecemasan fobia berdasarkan Brief Symptom Inventory (BSI). Selain itu, indeks keparahan gejala dan tingkat stres positif juga menurun secara signifikan. Kadar hormon ghrelin peserta meningkat setelah Ramadan, sedangkan kadar leptin, neuropeptida Y (NPY), dan hormon pertumbuhan tidak menunjukkan perubahan signifikan.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa puasa Ramadan berkontribusi terhadap peningkatan kesehatan mental, khususnya dalam mengurangi sensitivitas interpersonal dan kecemasan fobia. Hasil ini sejalan dengan studi sebelumnya yang menunjukkan manfaat puasa dalam menurunkan stres, kecemasan, dan depresi. Meski demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami lebih dalam mekanisme di balik efek positif puasa terhadap kesehatan mental.
- Penulis :
- Latisha Asharani