
Pantau - Media sosial dianggap menjadi magnet bagi para politisi untuk menggaet para pemilih karena sangat efektif dan efisien.
Dosen Universitas Paramadina, Putut Widjanarko menilai, penggunaan media sosial cenderung mengumpulkan kerumunan karena prinsip platform yang berlandaskan pada atensi tertentu. Hal ini yang memungkinkan terjadinya banyak berita hoaks, bohong, dan fitnah.
“Karena atensi itu dianut oleh semua platform sekarang sehingga melebarkan hukum dengan cepat dan kemudian menjadi salah satu pendorong hoaks, diskronisasi, berita bohong dan hate speech,” paparnya dalam sebuah diskusi daring, Kamis (10/8/2023).
Putut mengatakan, dalam konteks platform media sosial, ada yang namanya efek tekanan daring. Di mana orang akan lebih bebas menyampaikan segala hal dalam ruang digital ketimbang tatap muka.
“Jadi dalam diri kita, semua orang secara psikologis memang ada kecenderungan untuk tidak terlalu terkendali ketika berkomunikasi menggunakan platform online,” ujarnya.
Selanjutnya, ia memaparkan, melalui konten di ruang digital, maka sejumlah pihak akan berupaya agar para audiens tetap terkoneksi melalui konten yang mereka buat.
“Karena kita merasa harus selalu connected, dan harus selalu mengetahui apa yang terjadi saat itu. Kalau pro Pak Anies, maka kita akan search Pak Anies, begitu juga dengan Pak Prabowo dan Pak Ganjar,” pungkasnya.
Sementara itu, Peneliti Perhimpunan Periset Indonesia, Septa Diana mengungkapkan, adanya kekuasaan global yang menguasai ruang digital, tapi antisipasinya sangat minim.
“Mungkin bisa dikatakan sosial space kita saat ini 70 persen berada di ruang digital, dan saat ini dikuasai oleh raksasa perusahaan digital yang mempengaruhi bagaimana cara kita berinterksi saat ini,” ujarnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas