
Pantau - Peneliti di Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai pernyataan memakzulkan Presiden karena sudah memenuhi unsur konstitusi bisa dikatakan sebagai amunisi bagi DPR untuk membangun langkah-langkah nyata demi mengevaluasi secara serius kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap merugikan rakyat, bangsa, dan negara.
Hal ini tidak terlepas dari majunya sang putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024.
"Jadi pakar HTN ini sesungguhnya menantang DPR. Apakah pernyataan kekecewaan yang dilontarkan sejumlah politisi parlemen betul-betul berangkat dari keprihatinan atas penyimpangan kebijakan Presiden atau hanya sekedar pernyataan politis yang dimaksudkan untuk mendapatkan simpati publik saja?" kata Lucius pada wartawan, Senin (20/11/2023).
Lucius menilai dalam tahun politik, banyak pernyataan politisi didasarkan pada kepentingan politik masing-masing dan demi efek elektoral saja.
Sehingga dugaan penyimpangan kebijakan hanya dijadikan komoditas politik sesaat saja. Oleh sebab itu, DPR patut segera melakukan langkah konkret.
"Jika menurut ahli HTN sudah cukup alasan untuk memakzulkan Jokowi, harusnya langkah nyata segera bergulir di parlemen untuk mengumpulkan dukungan dari DPR dalam menggunakan hak angket," ujarnya.
Lucius menilai bahwa secara politis, legitimasi Presiden Jokowi kian tergerus karena dugaan Presiden yang tidak netral lagi di Pemilu 2024.
Dugaan keberpihakan presiden pada calon tertentu di pemilu mengangkangi kedudukan presiden sebagai kepala negara yang harus berdiri di atas semua kelompok dalam urusan pemilu.
"Keberpihakan Presiden membawa bahaya terbukanya upaya mobilisasi infrastruktur kekuasaan untuk kepentingan kelompok yang didukung Presiden saja. Ini tentu tak adil dan melawan asas pemilu yang luber dan jurdil," pungkasnya.
Ruang Senyap
Pengamat politik UPN Veteran Jakarta, Danis mengatakan peluang untuk memakzulkan Presiden Jokowi semakin kecil. Karena dugaan pelanggaran yang dilakukan berada di ruang senyap.
“Sulitnya menentukan tindakan pelanggaran presiden karena polanya yang senyap, impeachment baru bisa dilakukan saat presiden mengkhianati negara, melakukan korupsi, penyuapan, dan tindakan-tindakan tercela lainnya yang menyebabkannya tidak layak lagi menjadi presiden,” jelas Danis, Senin (20/11/2023).
Selain itu, citra DPR di masyarakat vis a vis atau berhadapan satu lawan satu dengan penilaian publik yang baik terhadap pemerintah. Apalagi masyarakat tidak menganggap hal itu sebagai masalah.
“Kita menyayangkan berbagai tindakan 'cawe-cawe' yang terjadi, tapi kekecewaan itu tidak menyebar jauh pada persepsi masyarakat. Masyarakat tidak bergeming, mereka tidak ikut merasakan kekecewaan, menganggap seolah-olah wajar,” kata Danis.
Sebelumnya, akademisi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan pemakzulan sudah memenuhi unsur konstitusi.
“Seluruh konteks dan unsur-unsur pemakzulan sudah terpenuhi,” ungkap Feri.
Situasi itulah yang membuat Feri sulit berharap pemilihan umum (Pemilu) 2024 berjalan sesuai semangat konstitusi, yaitu Pemilu bersih dan mandiri.
Menurut Feri, dugaan keterlibatan aparat, skandal bekas Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga adik ipar Presiden Jokowi, pemanggilan para menteri, pembiaran kampanye di luar jadwal, dan pemanggilan pejabat daerah, para kepala desa sudah bisa menjadi bukti konkret.
Selain itu, tindakan Presiden Jokowi yang mengatakan anaknya Gibran Rakabuming Raka tidak akan masuk politik, tetapi malah menjadi Wali Kota Solo dan sekarang cawapres bisa dijadikan bukti.
“Pilihannya keberanian politisi (di DPR) dalam menegakkan konstitusi dan berhadapan dengan rezim totalitarian ini,” jelas Feri.
- Penulis :
- Khalied Malvino











