
Pantau - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memperoleh perhatian khusus dalam perdebatan politik Indonesia, terutama setelah gagalnya mereka masuk ke parlemen pada Pemilu 2024.
PPP yang didirikan pada 5 Januari 1973, mengalami kegagalan untuk pertama kalinya dalam sejarah politiknya selama lima dekade terakhir. Partai ini hanya lebih tua enam hari dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI), yang kini dikenal sebagai PDI Perjuangan (PDIP).
PPP lahir dari penggabungan/fusi beberapa partai politik atau gerakan Islam, seperti Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Sejarah PPP tak terlepas dari masa Orde Baru, di mana fusi partai merupakan strategi pemerintah untuk menstabilkan politik nasional. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan kontra-revolusi dan depolitisasi yang diprakarsai oleh tokoh intelijen seperti Ali Murtopo.
Namun, meskipun partai-partai politik dirombak, partai-partai Islam dipaksa bergabung menjadi PPP, dan partai nasionalis digabung menjadi PDI, depolitisasi ala Orde Baru tidak sepenuhnya menghilangkan peran partai politik, tetapi lebih kepada penyederhanaan struktur partai.
Meskipun demikian, fusi partai Islam menjadi PPP justru memunculkan ketegangan internal di dalamnya. PPP sering kali terlibat dalam konflik internal, bahkan sejak awal pembentukannya pada dekade 1970-an.
Meski memiliki basis massa NU yang kuat, pimpinan PPP pada awalnya tidak berasal dari kalangan NU. Konflik suksesi di antara elite PPP, terutama selama Pilpres 2014, menciptakan perpecahan di dalam partai.
Konflik ini bahkan berdampak langsung pada perolehan suara PPP pada Pemilu 2019, di mana banyak kader PPP tidak puas dengan dukungan yang diberikan kepada calon presiden Joko Widodo (Jokowi).
Konflik internal ini semakin memperburuk posisi PPP, terutama setelah sejumlah elite partai terlibat dalam kasus korupsi.
Pada Pemilu 2024, PPP menghadapi tantangan baru dengan elektabilitas yang turun drastis, hanya sekitar 3,87 persen.
Meskipun berusaha menjembatani perpecahan di dalam partai, PPP akhirnya gagal meraih kursi di parlemen.
Kejatuhan PPP dari panggung politik parlemen menunjukkan bahwa partai yang dulu dianggap sebagai ‘rumah besar’ umat Islam kini harus menghadapi kenyataan pahit dari penurunan dukungan dan konflik internal yang terus berkecamuk.
- Penulis :
- Aditya Andreas