
Pantau - Presiden Prabowo Subianto mengunggah momen wawancara eksklusif dengan tujuh jurnalis dari tujuh grup media besar di Indonesia melalui akun Instagram resminya pada Minggu, 6 April 2025.
Para jurnalis yang hadir antara lain Alfito Deannova (detikcom), Lalu Mara Satriawangsa (TV One), Uni Lubis (IDN Times), Najwa Shihab (Narasi), Sutta Dharmasaputra (Kompas), Retno Pinasti (SCTV), dan Valerina Daniel (TVRI).
Presiden menegaskan bahwa wawancara ini adalah kesempatan untuk memberikan penjelasan secara utuh kepada masyarakat.
Salah satu pemimpin redaksi menyebut bahwa Presiden tidak mengetahui daftar pertanyaan sebelumnya, mencerminkan keterbukaan dalam proses komunikasi tersebut.
Ini merupakan kali kedua Prabowo secara resmi bertemu dengan media sejak pelantikannya sebagai Presiden RI.
Sebelumnya, pada 22 Februari 2025, Presiden juga mengundang para pemimpin redaksi ke Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, didampingi oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.
Dua peristiwa tersebut menunjukkan kesadaran Presiden akan pentingnya komunikasi langsung dengan media dalam membangun transparansi dan dialog publik.
Kekosongan Lembaga Komunikasi di Balik Agenda Besar Presiden
Namun di balik langkah positif itu, Kantor Komunikasi Kepresidenan tidak tampak memainkan peran aktif dalam mengelola agenda strategis ini.
Tidak ada tanda-tanda kehadiran institusi tersebut dalam pengelolaan acara, penyusunan pesan, maupun distribusi konten digital ke kanal resmi pemerintah.
Dua akun Instagram resmi yang diluncurkan sejak Oktober 2024, yakni @republikindonesia dan @presidenrepublikindonesia, bahkan tidak menampilkan aktivitas terkait wawancara tersebut.
Ketiadaan unggahan tersebut menimbulkan kesan bahwa Presiden dan lembaga komunikasinya tidak berjalan dalam satu irama.
Hal ini menjadi sorotan karena dalam demokrasi modern, komunikasi presiden seharusnya terlembaga dan tidak hanya bergantung pada figur individu.
Dalam wawancara itu, Presiden juga menilai pernyataan Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi tentang komentar aksi teror kepala babi terhadap Tempo sebagai tindakan teledor dan keliru.
Dalam literatur komunikasi politik, Presiden memiliki posisi dominan dalam pembentukan berita dan wacana publik, sebagaimana dijelaskan Stromback & Kiousis (2020).
Presiden adalah figur simbolik tertinggi dalam pemerintahan dan sorotan utama media karena daya tarik audiens, klik, dan rating.
Eshbaugh-Soha & Peake (2011) menekankan bahwa Presiden sangat berpengaruh dalam membentuk agenda media, khususnya isu strategis nasional dan luar negeri.
Namun, pengaruh itu hanya akan maksimal jika didukung oleh struktur kelembagaan komunikasi yang kuat, profesional, dan berkelanjutan.
Bennett, Lawrence, dan Livingston (2007) menyebut bahwa presiden memiliki kapasitas institusional terbesar untuk melibatkan media, bukan hanya sebagai narasumber, tetapi sebagai pengatur arah narasi.
Tanpa dukungan lembaga yang solid, komunikasi Presiden rentan tercerai-berai, tidak terdokumentasi, bahkan bisa luput dari perhatian publik.
Kantor Komunikasi Kepresidenan idealnya menjadi dapur utama strategi komunikasi negara, merancang pesan, mengelola konten, menjembatani Presiden dengan rakyat, dan menjaga konsistensi narasi.
Namun ketiadaan unggahan dan dokumentasi dari akun resmi negara memperlihatkan kekosongan fungsi kelembagaan yang serius.
Hal ini membuat publik hanya mengandalkan akun pribadi Presiden dan pemberitaan media masing-masing untuk memahami konteks agenda tersebut.
Figur Penting, Tapi Lembaga Lebih Penting
Komunikasi negara tidak boleh bersifat ad hoc atau tergantung pada inisiatif pribadi Presiden semata.
Komunikasi negara harus berjalan secara sistematis, terukur, dan berkesinambungan, demi membangun kepercayaan publik dan legitimasi pemerintahan.
Richard Neustadt dalam buku Presidential Power menekankan bahwa kekuatan utama Presiden adalah the power to persuade—kemampuan membujuk yang hanya efektif jika didukung sistem komunikasi kuat.
Tanpa struktur komunikasi kelembagaan, pesan Presiden mudah tenggelam di tengah derasnya arus informasi harian.
Menurut Downs (1972) dan Kingdon (1995), media tidak mampu mempertahankan fokus pada isu kebijakan secara jangka panjang, sehingga narasi Presiden bisa kehilangan momentum.
Mengundang media dan membuka ruang diskusi terbuka memang langkah positif, namun jika tidak diperkuat oleh kelembagaan, dampaknya hanya sementara.
Komunikasi politik bukan hanya soal menyampaikan pesan, tapi juga membentuk kesadaran kolektif, menciptakan konsensus, dan memperkuat legitimasi.
Di era digital dan keterbukaan informasi, kekuatan komunikasi tidak hanya terletak pada isi pesan, tetapi pada kemampuan mengorkestrasi pesan secara konsisten dan profesional.
Presiden telah memulai langkah awal.
Tinggal bagaimana negara—melalui lembaga komunikasinya—mampu menyambut dan memperkuat arah tersebut agar tidak berhenti pada simbol, tapi menjadi sistem.
- Penulis :
- Pantau Community