
Pantau.com - Sebuah program pemerintah berupaya untuk mengubah peran ayah menjadi keren dan seksi. Seberapa sukseskah? Coba lihat koran, majalah mode, atau manga Jepang, anda mungkin bisa melihat sosok 'superhero' baru ini.
Mereka terlihat tersenyum dan tampan ketika bermain pedang-pedangan saat sarapan atau bersepeda bersama di taman. Ayah dan anak itu malah mungkin mengenakan pakaian yang senada. Mereka terlihat simpatik dan sabar, serta akan membantu memasak dan melakukan tugas rumah tangga.
Dikutip BBC, mereka adalah para ikumen: kombinasi dari kata ikuji (merawat anak) dan ikemen (pria ganteng)—kontras atas stereotipe dari kaum ayah Jepang yang dicitrakan pecandu kerja yang dingin.
Istilah ini pertama diciptakan oleh seorang pekerja periklanan pada 2000an. Lalu pada tahun 2010, Kementerian Kesehatan Tenaga Kerja dan Kesejahteraan meluncurkan Proyek Ikumen nasional untuk mendorong peran ayah yang lebih besar di keluarga.
Baca juga: Mmmhh... Meme Melania Trump Berambut Blonde Penuhi Laman Twitter
Gagasan ini kemudian berkembang jauh, dan kini ikumen bisa dilihat di banyak produk budaya populer Jepang. Namun apakah tren ini mewakili kemajuan penting dalam kesetaraan gender? Atau apakah foto-foto mengkilap yang muncul dari proyek ini hanya memunculkan perubahan di permukaan saja, sementara perempuan masih tetap menanggung tanggung jawab keluarga lebih banyak?
Di masa lalu, peran ayah di Jepang adalah menjadi pencari nafkah. Para 'salarymen' atau karyawan ini akan mengabdikan hidup mereka di perusahaan, bekerja berjam-jam untuk menaiki tangga korporat dan memberikan keamanan finansial bagi keluarga.
"Komitmen pada pekerjaan menjadi pembuktian maskulinitas," tulis Hannah Vassailo, yang baru-baru ini menerbitkan penelitian antropologi soal ayah-ayah Jepang untuk buku berjudul Cool Japanese Men.
Di masa lalu, ayah-ayah Jepang terkesan dingin dan galak, tapi 'ikumen' akan senang terlibat dalam membesarkan anak.
Tentu saja, Jepang bukan satu-satunya yang berpandangan seperti ini. Tapi pada 1980an, rata-rata pria menghabiskan 40 menit untuk berinteraksi dengan anak dalam sehari — dan itu terjadi saat makan bersama.
Menurut satu penelitian, para pria bahkan tidak bisa membuat teh atau mencari pakaian tanpa bantuan istri. Saat ayah berinteraksi dengan anak-anaknya, dia sering terlihat berjarak dan memunculkan rasa hormat, bahkan rasa takut — dan ini tercermin dalam ungkapan "jishin, kaminari, kaji, oyaji" - "gempa, petir, api dan ayah".
Baca juga: Pilot Ini Putar Balik Pesawat karena 'Hati' yang Tertinggal
Tentu saja, perilaku ini punya dampak serius, seperti sulit bagi perempuan untuk menjalani karier setelah melahirkan anak, dan banyak yang tak tertarik dengan konsep pernikahan.
Alhasil, banyak yang menikah lebih lama, atau malah tak menikah sama sekali — dan ini berdampak ke tingkat kelahiran di Jepang yang kini menurun. Pada 1980an, ada peningkatan bunuh diri pada anak, yang sebagian orang menyebut bahwa ini terkait dengan kurangnya dukungan ayah.
Meski begitu, perubahan terjadi secara lambat. Pada 2002, hanya 0,33 persen pria mengambil cuti setelah kelahiran anak. Satu survey dari 2008 menyebut bahwa sepertiga dari pria memilih untuk menghabiskan waktu bersama anak — tapi mereka khawatir bahwa atasan mereka tak suka dengan cuti yang mereka ambil.
- Penulis :
- Nani Suherni