
Pantau.com - Presiden Filipina Rodrigo Duterte mendesak China memikirkan kembali agresifitas di Laut China Selatan.
Selain itu, Duterte juga mengatakan bahwa negara itu tak memiliki hak mengusir pesawat dan kapal asing, yang melintasi pulau buatannya di kawasan sengketa tersebut.
Duterte berharap, China akan melunakkan dan menghentikan pembatasan pergerakan, yang dapat mengarah kepada bentrokan dengan sekutunya yang terikat perjanjian, Amerika Serikat. Menurut dia, Filipina berada cukup dekat dengan bahaya.
Baca juga: Bomber AS B-52 Terbang di Laut China Selatan (Lagi), China Tersulut Emosi
China, Taiwan, Filipina, Malaysia, Vietnam dan Brunei saling mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly, tempat China mengubah dengan cepat kepulauan karang menjadi pulau buatan, yang tampaknya digunakan untuk sarana militer. Dari sana tentaranya secara berkala memerintahkan kapal asing menjauh.
"Mereka harus mempertimbangkan kembali bahwa karena itu akan jadi titik api suatu saat," kata Duterte dalam pidato pada Selasa malam.
"Anda tak dapat menciptakan sebuah pulau. Ini buatan manusia dan Anda katakan bahwa ruang udara di atas pulau buatan ini milik Anda. Ini salah karena perairan itu yang kami pandang laut internasional. Dan hak untuk perlintasan dijamin," katanya.
Baca juga: Korupsi Masih Merajalela, Jenderal Filipina Dipecat Duterte
Kementerian Luar Negeri China tidak menanggapi segera permintaan untuk berkomentar.
Duterte memiliki kebijakan untuk mengikat hubungan dengan China, dengan harapan memperoleh miliaran dolar sebagai bantuan, pinjaman dan penanaman modal, dan telah menolak kritik bahwa ia menyetujui tekanan China atau menyerahkan kedaulatan Filipina.
Ia tak menyalahkan China, yang membangun dan mendirikan sarana militer di perairan sengketa tersebut. Sebaliknya, ia mengatakan Amerika Serikat berbuat salah karena menghalangi pembangunan ketika wilayah tersebut mulai digarap.
- Penulis :
- Widji Ananta