
Pantau - Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini mengkritik data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Menurutnya, data BPS tersebut tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya dari perekonomian nasional, sehingga tidak bisa dijadikan acuan bagi para pembuat kebijakan.
“Metode dalam melihat ketimpangan oleh para akademisi biasanya dengan melihat pendapatan masyarakat berdasarkan survei BPS. Sesungguhnya bukan pendapatan tapi pengeluaran,” kata Didik melalui keterangan tertulis, Senin (24/7/2023).
Didik yang juga pendiri Institute for Development of Economics (INDEF) ini memaparkan, terdapat data dari sedikit orang yang mempunyai deposito sebesar Rp5 miliar ke atas selama krisis COVID-19 yang meningkat porsinya dalam tabungan deposito dari 45 – 52 persen.
Ia menambahkan, jika data tersebut ditambah dengan orang yang mempunyai deposito Rp2 miliar ke atas maka jumlahnya menjadi 62 persen. Sementara, yang tabungannya hanya Rp1 juta-Rp50 juta hanya sekitar 12 persen saja.
“Itulah beda jauhnya data BPS dengan data di bank. Tidak punya makna banyak dalam melihat kesenjangan dan cenderung menipu dalam ranah ekonomi politik. Sudah saatnya data BPS itu dibuang, karena tidak bisa dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan ekonomi politik,” tegasnya.
Didik menilai angka 0,37-0,38 dari gini rasio yang diterbitkan oleh BPS merupakan angka yang menipu. Sehingga sebaiknya tidak lagi digunakan sebagai pedoman akademisi.
Sementara itu, ekonom senior INDEF, Bustanul Arifin mengemukakan, sejumlah hal yang menjadi penyebab ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Di antaranya, karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas, pemerataan pemilikan lahan/aset yang memburuk, buruknya infrastruktur ekonomi dan sumber daya produksi, serta kebijakan pemerintah yang tidak efektif.
“Misalnya seperti subsidi pangan, pendidikan, dan pupuk bagi para petani yang tidak terlalu efektif dalam menangani ketimpangan tersebut,” katanya.
- Penulis :
- Aditya Andreas
- Editor :
- Fadly Zikry