
Pantau.com - Produsen batik garutan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengeluhkan penjualan batik lokal yang sering kalah bersaing dengan produk impor seperti dari Tiongkok yang harganya lebih murah sehingga dipilih masyarakat dalam negeri.
"Batik impor harganya Rp100 ribu bisa dapat tiga, beda dengan batik cap lokal harganya sekitar Rp200 ribu," kata pemilik Batik Garutan Saha Deui (SHD), Agus Sugiarto, Selasa (2/10/2018).
Ia menuturkan, kain batik impor dari Tiongkok masuk ke pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah daripada produk batik dalam negeri.
Baca juga: Kontraktor Bantu Evakuasi, KemenPUPR: Itu Tidak Gratis, Pasti Dibayar!
Menurut dia, persoalan harga itu seringkali membuat produk dalam negeri kalah bersaing, akibatnya masyarakat sebagai konsumen lebih memilih produk impor yang lebih murah.
Persoalan lain, lanjut dia, masyarakat belum mengetahui perbedaan batik produk dalam negeri dan impor, sehingga perlu adaa sosialisasi dan pemahaman tentang batik lokal.
"Suka sedih kalau lihat pegawai pemerintah atau swasta pakai batik impor," katanya.
Ia berharap, pemerintah membantu dalam pemasaran batik khas dari Garut agar penjualan lebih meningkat dan semakin banyak diminati banyak orang.
Selama ini, lanjut dia, penjualan batik langsung kepada wisatawan, dan bekerja sama dengan agen perjalanan wisata.
"Dari jualan online juga banyak yang pesan dari beberapa kota di Indonesia," katanya.
Baca juga: Upayakan Pasokan Elpiji untuk Palu, Pertamina Gunakan Kapal TNI
Ia berharap, batik dalam negeri khususnya dari Kabupaten Garut bisa berjaya dan diminati oleh masyarakat dalam maupun luar kota.
Agus yang sudah menekuni usaha batik sejak tahun 2000 itu memproduksi batik dua jenis yakni batik tulis dan batik cap, namun sejak 2017 pemasaran batik garutan merosot.
"Kami harap pemerintah bisa membantu pemasaran batik garutan," katanya.
- Penulis :
- Nani Suherni