
Pantau – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan utang Pemerintahan Jokowi per 30 November 2023 mencapai Rp8.041,01 triliun. Jumlah itu naik Rp90,49 triliun alias 1,14 persen dari Oktober 2023 yang mencapai Rp7.950,52 triliun.
Utang itu menunjukkan rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 38,11 persen.
Menurut Kemenkeu, nilai rasio utang tersebut lebih rendah dibandingkan akhir 2022 dan masih di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara.
“Rasio ini juga masih lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah tahun 2023-2026 di kisaran 40 persen,” tulis Kemenkeu dalam APBN Kita edisi Desember 2023 dikutip di Jakarta, Selasa (19/12/2023).
Pemerintah mengklaim mengelola utang secara disiplin sehingga menopang hasil asesmen lembaga pemeringkat kredit di 2023 yang tetap mempertahankan rating sovereign Indonesia pada level investment grade di tengah dinamika perekonomian global saat ini.
Peringkat tersebut antara lain, S&P dan Fitch dengan ranking BBB/Stable, R&I dengan ranking BBB+/positive.

Pemerintah, disebut kementerian yang dipimpin oleh Sri Mulyani Indrawati itu, senantiasa melakukan pengelolaan utang secara cermat dan terukur lewat komposisi mata uang, suku bunga, serta jatuh tempo yang optimal.
Selaras dengan kebijakan umum pembiayaan utang untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan dalam negeri dan memanfaatkan utang luar negeri sebagai pelengkap, mayoritas utang pemerintah berasal dari dalam negeri dengan proporsi 71,91 persen.
Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa SBN yang mencapai 88,61 persen. Selain itu, pemerintah mengutamakan pengadaan utang dengan jangka waktu menengah-panjang dan melakukan pengelolaan portofolio utang secara aktif.
Per periode ini, profil jatuh tempo utang pemerintah terhitung cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo (average time maturity/ATM) di kisaran 8 tahun.
Pengelolaan utang pemerintah melalui penerbitan SBN turut mendukung pengembangan dan pendalaman pasar keuangan domestik, inklusi keuangan, serta peningkatan literasi keuangan masyarakat dari savings society menjadi investment society.
“Sejalan dengan hal tersebut, kepemilikan investor individu di SBN domestik terus mengalami peningkatan sejak 2019 yang hanya mencapai 2,95 persen menjadi 7,69 persen pada periode ini,” tulis Kemenkeu.
Selanjutnya, bagi lembaga keuangan, SBN berperan penting dalam memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan likuiditas, serta menjadi salah satu instrument mitigasi risiko.
Oleh sebab itu, perbankan merupakan pemegang SBN domestik terbesar, yang pada periode ini mencapai 27,67 persen. Kemudian diikuti perusahaan asuransi dan dana pensiun yang memiliki 18,48 persen.
Bank Indonesia memegang 18,35 persen SBN yang digunakan sebagai instrument pengelolaan moneter. Invsetor Asing hanya memiliki SBN domestik 14,89 persen termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing.
“Sementara, sisa kepemilikan SBN dipegang oleh institusi domestik lainnya untuk memenuhi kebutuhan investasi dan pengelolaan keuangan institusi bersangkutan,” tulis Kemenkeu.
Selanjutnya, guna meningkatkan efisiensi pengelolaan utang dalam jangka panjang, pemerintah terus berupaya mewujudkan pasar SBN domestik yang dalam, aktif, dan likuid. Salah satu strateginya adalah melalui pengembangan berbagai instrumen SBN, termasuk pengembangan SBN tematik berbasis lingkungan (Green Sukuk) dan SDGs (SDG Bond dan Blue Bond).
“Peranan transformasi digital dalam proses penerbitan dan penjualan SBN yang didukung dengan sistem online juga tak kalah penting, mampu membuat pengadaan utang melalui SBN menjadi semakin efektif dan efisien, serta kredibel,” demikian sebagaimana dilansir laman Kemenkeu.
- Penulis :
- Ahmad Munjin
- Editor :
- Ahmad Munjin