
Pantau - Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen menuai perhatian dari berbagai pihak.
Direktur Eksekutif INDEF, Ester Sri Astuti menilai, kebijakan tersebut dapat memicu efek domino yang berdampak negatif terhadap perekonomian nasional.
Ester menjelaskan, kenaikan PPN berpotensi melemahkan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya dapat memengaruhi pencapaian target penerimaan pajak.
"Kemungkinan tax revenue tidak tercapai karena daya beli melemah. Jika tercapai pun, hal itu akan menurunkan volume penjualan, mengurangi produksi, dan membuat produsen melakukan efisiensi," ujarnya, Senin (25/11/2024).
Menurut Ester, kondisi ini bisa saja memicu peningkatan pengangguran akibat efisiensi dari perusahaan.
"Jika perusahaan melakukan efisiensi, pendapatan riil masyarakat akan turun, daya beli melemah, dan jumlah pengangguran kemungkinan meningkat," tambahnya.
Baca Juga: Masuk Prolegnas Prioritas 2025, Baleg DPR Akui Belum Tahu Isi RUU Tax Amnesty
Selain itu, kenaikan tarif PPN diprediksi dapat menekan pertumbuhan ekonomi. INDEF mencatat, kenaikan 1 persen tarif PPN ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02 persen.
Ia melanjutkan, efek domino dari kebijakan tersebut juga dikhawatirkan akan mengurangi penyerapan tenaga kerja, menurunkan pendapatan, dan memperlambat pemulihan ekonomi.
"Ketika konsumsi menurun, pendapatan negara juga akan terdampak. Bahkan, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) terancam menurun karena perusahaan melakukan penyesuaian dalam input produksi, termasuk tenaga kerja," ungkapnya.
Ester menekankan, pentingnya mempertimbangkan situasi ekonomi saat ini, terutama ketika permintaan konsumen cenderung melambat.
“Kebijakan kenaikan tarif PPN di tengah kondisi tersebut dinilai berisiko memperburuk pemulihan ekonomi yang masih berlangsung,” tandasnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas
- Editor :
- Khalied Malvino