
Pantau - Jogja, kota yang dikenal dengan keramahan warganya, pesona wisata, dan kuliner lezat, ternyata menyimpan sejumlah tantangan sosial dan ekonomi, salah satunya adalah rendahnya Upah Minimum Regional (UMR). Meskipun banyak orang yang tertarik untuk bekerja dan menetap di kota ini, fakta bahwa Jogja memiliki UMR yang terbilang rendah menjadi salah satu faktor yang membuatnya kurang ramah bagi para pencari karier. Namun, apa yang sebenarnya menjadi penyebab UMR Jogja yang rendah?
Bukan Kota Industri
Salah satu alasan kenapa UMR Jogja rendah adalah karena kota ini bukan kota industri. Jogja lebih dikenal sebagai kota tujuan wisata dan kota pelajar, bukan sebagai pusat industri yang memiliki banyak perusahaan besar dan pabrik yang menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Kota industri seperti Bekasi, Serang, atau Batam, memiliki tingkat upah yang lebih tinggi karena banyaknya perusahaan besar yang beroperasi di sana. Di Jogja, sektor ekonomi utama masih bergantung pada sektor pariwisata, pendidikan, dan perdagangan, yang secara langsung memengaruhi besaran gaji yang ditawarkan kepada pekerja. Ketiadaan pabrik atau industri besar yang membutuhkan tenaga kerja dengan upah tinggi menjadikan Jogja sebagai kota dengan UMR rendah.
Baca juga: 3 Hal Ini Jadi Pilar Utama Penetapan UMP yang Adil versi Ekonom, Apa Saja?
Keterbatasan Sektor Ekonomi yang Berkembang
Sektor ekonomi di Jogja masih belum berkembang sepesat kota-kota besar lainnya. Dengan banyaknya potensi wisata dan pendidikan, sektor-sektor lain seperti industri kreatif, teknologi, dan manufaktur belum banyak memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian kota. Keterbatasan sektor ekonomi ini menyebabkan rendahnya permintaan terhadap tenaga kerja terampil yang bisa mendorong peningkatan gaji di berbagai bidang pekerjaan. Hal ini juga memperparah rendahnya UMR di Jogja, karena pertumbuhan sektor ekonomi yang terbatas tidak memberikan banyak peluang bagi pekerja untuk memperoleh gaji yang lebih tinggi.
Faktor Demografis dan Sosial
Jogja juga memiliki populasi mahasiswa yang besar, dengan banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang memilih kota ini sebagai tempat belajar. Mahasiswa cenderung hidup hemat dengan mengandalkan uang kiriman orang tua, sehingga mereka lebih memilih tempat tinggal dan tempat makan yang murah. Perilaku konsumsi mahasiswa ini turut memengaruhi pola ekonomi di Jogja, di mana banyak usaha yang menyesuaikan dengan kemampuan finansial mahasiswa, yang cenderung terbatas. Hal ini turut mengurangi tekanan untuk menaikkan UMR, karena banyak pihak yang merasa bahwa gaji rendah masih dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat yang hidup dengan gaya hidup hemat.
Baca juga: Beri Sinyal Naik, Menaker Tak Umumkan Penetapan UMP 2025 Hari Ini
Romantisasi Kehidupan Murah di Jogja
Jogja sering kali digambarkan sebagai kota yang murah untuk ditinggali, terutama oleh kalangan mahasiswa yang mengandalkan uang kiriman orang tua. Gaya hidup murah ini diperkuat dengan adanya angkringan dan warmindo yang menjadi pilihan makan hemat bagi mahasiswa dan masyarakat lokal. Selain itu, sebagian besar masyarakat Jogja tinggal di daerah pedesaan yang lebih tenang dan damai, dengan mata pencaharian sebagai petani atau peternak. Pandangan ini membentuk anggapan bahwa hidup di Jogja tidak harus bergantung pada materi, tetapi lebih pada kenyamanan dan ketenangan. Hal ini memperkuat persepsi bahwa biaya hidup di Jogja memang lebih rendah, sehingga UMR-nya pun tidak sebanding dengan kota-kota besar lainnya.
- Penulis :
- Latisha Asharani
- Editor :
- Muhammad Rodhi