
Pantau – Pelemahan saham-saham teknologi di Wall Street telah menghempaskan aset kripto Bitcoin ke kisaran 80.000 dolar AS. Kondisi ini justru dinilai dapat menjadi peluang bagi investor institusi yang memandang Bitcoin sebagai instrumen lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi.
Pandangan itu datang dari analis Reku, Fahmi Almuttaqin. Meskipun demikian, menurutnya, altcoin, terutama yang terkait proyek AI atau teknologi, mungkin akan lebih rentan terkoreksi lebih dalam akibat valuasi yang terlalu optimistis dan korelasinya dengan sentimen saham-saham AS di sektor teknologi seperti Nvidia.
“Ke depan, laporan inflasi dan perkembangan kebijakan fiskal AS akan menjadi katalis utama,” ungkap kata Fahmi sebagaimana keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (12/3/2025).
Adanya penyesuaian portofolio besar-besaran di kalangan investor dan manajer aset, sambung dia, tercermin dari penurunan harga Bitcoin.
Baca juga: 1.396 Aset Kripto Tercatat Diperdagangkan hingga Februari 2025
Asal tahu saja, dalam sehari pada perdagangan Senin (10/3/2025), tiga pasar saham Amerika Serikat (AS) kehilangan nilai sebesar 4 triliun dolar AS. Lihat saja, indeks saham utama Wall Street yaitu S&P 500, Nasdaq, dan Dow Jones Industrial Average yang masing-masing mengalami penurunan lebih dari 2 persen dalam satu hari itu.
Sementara pasar kripto tergerus saham-saham di sektor teknologi yang menjadi salah satu yang paling terpukul. Itu buntut indeks S&P 500 sektor teknologi yang turun 4,3 persen. Ini tercermin dari penurunan Apple dan Nvidia yang masing-masing turun sekitar 5 persen. Begitu juga dengan Tesla yang melemah lebih dari 15 persen.
Selebihnya, Delta Air Lines memotong proyeksi laba akibat ketidakpastian ekonomi, dan investor beralih ke aset safe-haven seperti obligasi pemerintah AS.
Sementara di pasar kripto, Bitcoin turun sekitar 5 persen sedangkan Ethereum turun 10 persen lebih, meningkatkan tekanan likuidasi di tengah tingginya volatilitas pasar. Laporan inflasi Consumer Price Index (CPI) AS yang akan dirilis pada 12 Maret dan ancaman shutdown pemerintah semakin menambah ketegangan pasar.
Baca juga: CFX Komitmen Dukung Industri Kripto yang Berintegritas di Indonesia
Fahmi mengaitkan situasi ini dengan potensi stagflasi yang mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang melambat, inflasi tinggi, serta ancaman resesi di Amerika Serikat (AS) akibat kebijakan impor yang lebih ketat dan pengetatan anggaran pemerintah.
Proyeksi sementara menunjukkan kenaikan sebesar 0,23 persen, lebih rendah dari kenaikan Januari sebesar 0,5 persen. Namun, inflasi tahunan AS diperkirakan masih berada di angka 3 persen, yang masih cukup jauh dari target The Fed sebesar 2 persen.
“Dengan hasil pertemuan KTT Kripto Gedung Putih yang belum banyak memberikan katalis positif bagi pasar kripto, serta kebijakan suku bunga The Fed yang masih tertahan, tekanan di pasar kripto berpotensi berlanjut. Namun, potensi pergeseran sentimen tetap terbuka, terutama jika Bitcoin semakin dipandang sebagai inflation hedge,” tutur Fahmi.
Lebih lanjut, ia memandang langkah pemerintahan Trump untuk mensahkan Strategic Bitcoin Reserve AS juga bisa menjadi faktor yang meningkatkan legitimasi Bitcoin di mata investor tradisional maupun negara lain yang tengah mengeksplorasi langkah serupa.
Baca juga: Ini Bukti Investor Sangat Percaya Bitcoin sebagai Aset Lindung Nilai
Fahmi menyarankan bahwa bagi investor yang lebih mengutamakan fundamental aset, investasi pada kripto dengan kapitalisasi pasar besar masih menjadi pilihan menarik.
Fitur seperti Packs di platform Reku, yang memungkinkan diversifikasi aset dengan berbagai crypto blue chip serta saham AS unggulan, bisa menjadi strategi efektif.
Bagi investor yang ingin memanfaatkan volatilitas pasar, lanjut dia, fitur Futures dengan opsi Long atau Short dan leverage hingga 25 kali bisa menjadi alat untuk mengoptimalkan kondisi saat ini.
Di atas semua itu, investor institusi yang mengadopsi strategi akumulasi pada Bitcoin menurut dia, mungkin akan memperoleh keuntungan dalam jangka panjang. Itu terjadi di tengah berbagai ketidakpastian yang masih membayangi pasar keuangan global.
Baca juga: Transaksi Perdagangan Tokocrypto Capai Rp130 Triliun di 2024
“(Terutama), jika aset ini terus dianggap sebagai perlindungan terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi,” imbuhnya.
- Penulis :
- Ahmad Munjin