Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Warung Kopi di Kauman Lor Jadi Simbol Perubahan: Perkebunan Bukan Sekadar Bisnis, Tapi Jalan Hidup

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Warung Kopi di Kauman Lor Jadi Simbol Perubahan: Perkebunan Bukan Sekadar Bisnis, Tapi Jalan Hidup
Foto: (Sumber: Kopi Banaran tumbuh menjadi kebanggaan dan bagian dari kehidupan warga di Pabelan, Jambu, Semarang, Jawa Tengah dan wilayah sejuk lainnya. (ANTARA/HO-PTPN I))

Pantau - Suasana Agustus di Desa Kauman Lor, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, diwarnai kemeriahan khas kemerdekaan. Lampu LED merah-putih, bendera, dan umbul-umbul menghiasi jalan-jalan desa, menciptakan atmosfer hangat dan penuh semangat perjuangan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Di tengah pemandangan itu, berdiri sebuah warung sederhana milik Sugeng (85), yang dikelola bersama keponakannya, Abdul. Warung ini bukan sekadar tempat membeli kopi, melainkan ruang bertemu warga, berbagi cerita, dan menyesap hangatnya kebersamaan.

Kopi yang disajikan Sugeng bukan sembarang kopi. Kopi Banaran, namanya, memiliki sejarah panjang sejak masa kolonial Belanda membuka perkebunan di Banaran. Pabrik yang dulu dibangun kini dikenal sebagai Pabrik Kopi Banaran milik PTPN I Regional 3.

Warung Kopi yang Menyimpan Jejak Sejarah dan Pengetahuan

Kopi Banaran telah menjadi kebanggaan warga Pabelan, Jambu, dan kawasan sejuk lainnya. Pengetahuan tentang budidaya kopi diwariskan secara turun-temurun oleh para pekerja kebun kepada kerabat dan warga sekitar, tanpa pelatihan formal.

Sugeng, yang telah lama menjadi bagian dari irama kehidupan desa, tak hanya menyeduh kopi. Ia juga menjadi penjaga cerita dan penyambung pengetahuan, yang perlahan ia wariskan kepada Abdul.

“Biji kopinya dari orang kampung sini, teknik menyangrainya juga kita pelajari dari orang tua dulu,” ujar Abdul saat menyajikan secangkir kopi hangat kepada pelanggan tetap warung.

Cerita di Kauman Lor bukan satu-satunya. Di berbagai daerah lain, transformasi serupa juga terjadi. Di Lampung, masyarakat semula tak menyadari nilai ekonomi karet, namun kini mengelola lebih dari 130 ribu hektare kebun karet. Di balik itu semua, selalu ada aliran keterampilan, pengetahuan, dan kerja keras lintas generasi.

Direktur Utama PTPN I, Teddy Yunirman Danas, menyampaikan bahwa kebun bukan hanya urusan produksi. "Kebun bisa menjadi agen perubahan sosial dan ekonomi," ungkapnya.

Kebun sebagai Katalisator Ekonomi dan Identitas Komunitas

Kehadiran kebun membuka lapangan kerja, menggerakkan perekonomian lokal, dan mempererat hubungan sosial di desa.

Unit kerja perkebunan menyerap ribuan tenaga kerja lokal, baik sebagai karyawan tetap maupun pekerja harian. Dampaknya sangat nyata: angka pengangguran turun, pendapatan keluarga meningkat, dan roda ekonomi berputar.

Bersama masyarakat, lahirlah ekosistem baru — dari warung-warung kecil, pasar karet, UMKM, hingga pelaku industri kreatif lokal. Perusahaan perkebunan pun bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan.

Fokus mereka bukan semata keuntungan, tapi juga pemberdayaan masyarakat sekitar. Di sinilah letak kekuatan sesungguhnya: kolaborasi.

Kisah warung Sugeng mencerminkan bagaimana perubahan besar bisa berawal dari hal sederhana. Kopi yang disajikan Abdul bukan hanya hasil panen biji kopi, tetapi buah kerja sama petani, perusahaan, dan komunitas.

Perkebunan tidak hanya memberi penghasilan, tapi juga membentuk keterampilan, jejaring sosial, dan jati diri lokal. Dari kebun dan pabrik, lahir peluang-peluang baru — pedagang mendapat pembeli, perajin menemukan pasar, dan generasi muda mulai membayangkan masa depan di kampung halaman mereka sendiri.

Kehidupan desa pun mengikuti irama tanam, panen, pesta, dan istirahat, di mana perkebunan hadir sebagai bagian utuh dari ritme itu.

Pembangunan desa bukan tugas tunggal. Ia lahir dari kerja bersama — perusahaan, masyarakat, dan pemerintah — yang saling mendukung dan percaya.

Sugeng tahu bahwa warungnya adalah bagian dari kisah besar. Dan Abdul? Ia sedang menyeduh masa depan sambil menjaga cerita itu tetap hidup untuk generasi berikutnya.

Penulis :
Aditya Yohan