Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Hari Tani Nasional 2025: Reforma Agraria Mendesak Diintegrasikan dengan Kebijakan Ekonomi Nasional

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Hari Tani Nasional 2025: Reforma Agraria Mendesak Diintegrasikan dengan Kebijakan Ekonomi Nasional
Foto: (Sumber: Ilustrasi - Foto udara petani menanam padi di areal persawahan Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/bar/am..)

Pantau - Momentum Hari Tani Nasional (HTN) pada 24 September 2025 bertepatan dengan hampir setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, di tengah sorotan publik terhadap pelaksanaan reforma agraria yang dinilai masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.

Reforma agraria dianggap sebagai instrumen penting untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi petani dan masyarakat pedesaan.

Namun, hingga kini, implementasinya dinilai belum menunjukkan kemajuan signifikan, terutama dalam aspek redistribusi tanah.

Sertifikasi Tanah dan Tantangan Agraria

Pada era pemerintahan sebelumnya, presiden secara langsung membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat sebagai bagian dari program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat, sepanjang 2015 hingga 2023, sekitar 10,3 juta sertifikat tanah telah diterbitkan melalui program tersebut.

Meski menunjukkan kehadiran negara dalam isu agraria, program ini banyak dikritik karena terlalu menekankan legalisasi aset dibandingkan dengan redistribusi tanah secara substansial.

Saat ini, pelaksanaan reforma agraria menghadapi tekanan yang lebih besar seiring munculnya dua tantangan struktural utama: deindustrialisasi dini dan deagrarianisasi.

Deindustrialisasi ditandai dengan penurunan kontribusi sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dari 32 persen pada 2002 menjadi hanya 18,7 persen pada kuartal pertama 2024, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sektor manufaktur nasional hanya tumbuh rata-rata 1,2 persen per tahun dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Sementara itu, deagrarianisasi terlihat dari meningkatnya ketergantungan terhadap impor pangan, lemahnya kepemilikan lahan oleh petani, serta minimnya regenerasi petani muda.

Nilai impor pangan Indonesia pada tahun 2023 mencapai 28,5 miliar dolar AS, berdasarkan data BPS.

Selain itu, sekitar 56 persen petani di Indonesia tergolong sebagai petani gurem, yaitu yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare.

Regenerasi petani pun tergolong rendah, dengan hanya 27 persen petani berusia di bawah 35 tahun yang masih bertahan di sektor pertanian.

Hilirisasi Tidak Terhubung Langsung dengan Reforma Agraria

Pemerintah mencoba merespons deindustrialisasi dengan mendorong program hilirisasi sumber daya alam, seperti sektor mineral dan batubara (minerba), perkebunan, dan perikanan.

Namun, program hilirisasi tersebut belum memiliki keterkaitan langsung dengan agenda reforma agraria.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa realisasi investasi hilirisasi minerba pada tahun 2023 mencapai 15,3 miliar dolar AS.

Kendati nilai investasi tersebut besar, keterlibatan masyarakat dalam kepemilikan usaha maupun lahan di sekitar proyek hilirisasi dinilai masih minim.

Model hilirisasi yang ada saat ini bahkan dinilai berpotensi menciptakan konflik agraria baru, memperburuk kerusakan lingkungan, dan tidak memperkuat posisi petani dalam sistem produksi nasional.

Kesimpulan dari kondisi ini menunjukkan bahwa keberhasilan reforma agraria tidak cukup hanya ditandai dengan sertifikasi tanah, melainkan perlu diintegrasikan dengan kebijakan ekonomi lainnya seperti hilirisasi dan pembangunan lumbung pangan yang berkelanjutan.

Penulis :
Ahmad Yusuf
Editor :
Tria Dianti