billboard mobile
FLOII Event 2025 - Paralax
ads
Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Panas Bumi Diproyeksikan Jadi Energi Beban Dasar Masa Depan, Indonesia Siap Geser AS Sebagai Produsen Terbesar

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Panas Bumi Diproyeksikan Jadi Energi Beban Dasar Masa Depan, Indonesia Siap Geser AS Sebagai Produsen Terbesar
Foto: (Sumber: Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Komersialisasi dan Transportasi Minyak dan Gas Bumi Satya Hangga Yudha Widya Putra (kanan atas) berbicara dalam webinar yang diselenggarakan Society of Renewable Energy Cabang Universitas Andalas, Kamis (9/10/2025). ANTARA/Dokumentasi pribadi.)

Pantau - Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Komersialisasi dan Transportasi Minyak dan Gas Bumi, Satya Hangga Yudha Widya Putra, menyatakan optimisme bahwa panas bumi akan menjadi sumber energi beban dasar (baseload) penting untuk ketahanan energi masa depan Indonesia.

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam webinar yang digelar oleh Society of Renewable Energy Cabang Universitas Andalas pada Kamis (9 Oktober 2025).

"Saya memiliki optimisme tinggi terhadap peran energi panas bumi (geothermal) dalam peta jalan energi nasional," ungkap Hangga.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia berada di kawasan ring of fire dan memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia.

Saat ini, Indonesia menempati posisi kedua secara global dalam kapasitas terpasang panas bumi, setelah Amerika Serikat.

Namun, Hangga memproyeksikan bahwa Indonesia dapat menjadi produsen panas bumi terbesar dunia dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan.

Keunggulan Panas Bumi dan Tantangan Pengembangannya

"Panas bumi adalah sumber energi baru terbarukan yang bisa menjadi baseload. Itulah yang membedakan panas bumi dengan sumber energi bersih lainnya," ia menegaskan.

Ia memaparkan sejumlah keunggulan panas bumi, antara lain dapat menghasilkan listrik secara terus-menerus 24 jam tanpa gangguan (dispatchable), berbeda dari tenaga surya dan angin yang bersifat variabel serta memerlukan penyimpanan baterai.

Selain itu, panas bumi memiliki emisi karbon yang sangat rendah dibandingkan bahan bakar fosil.

Meskipun potensi teknis panas bumi Indonesia mencapai 24 GW—sekitar 40% dari cadangan dunia—pemanfaatannya saat ini baru sebesar 2,7 GW.

Hangga menyebut tantangan utama berasal dari sisi ekonomi dan teknis, seperti kebutuhan investasi modal besar untuk eksplorasi dan pengeboran, serta waktu pengembangan yang panjang, yakni 10–15 tahun sebelum mencapai operasi komersial (COD).

"Ini investasi yang lama. Bisa memakan waktu 10 tahun, 15 tahun. Jadi tidak bisa langsung onstream atau langsung menghasilkan listrik," jelasnya.

Ia mengungkapkan bahwa meskipun harga jual listrik panas bumi sudah mulai kompetitif di kisaran 7–9 sen per kWh, harga awal yang tinggi tetap menjadi penghambat percepatan.

Target Pemerintah dan Manfaat Multisektor

Pemerintah melalui Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) menargetkan tambahan kapasitas panas bumi sebesar 1,1 GW hingga 2029.

Dengan target tersebut, total kapasitas akan mencapai 4,1 GW dan diperkirakan melampaui Amerika Serikat.

Sejak 2022 hingga 2024, pemerintah telah melelang 20 wilayah kerja panas bumi serta memberikan 12 penugasan untuk survei pendahuluan dan eksplorasi.

Hangga menyebut kebutuhan investasi panas bumi mencapai Rp363,8 triliun dalam sembilan tahun ke depan.

Investasi ini diperkirakan mampu menciptakan 42.700 lapangan kerja dan menurunkan emisi karbon sebesar 31,1 juta ton CO2.

Selain menghasilkan listrik, panas bumi juga bermanfaat dalam sektor nonlistrik seperti:

Ketahanan pangan melalui pemanfaatan uap untuk budidaya melon dan pengeringan kopi serta kentang.

Mendukung pengembangan green hydrogen dan ekstraksi silika atau litium untuk hilirisasi mineral.

Namun, pengembangan panas bumi juga menghadapi tantangan sosial dan lingkungan, seperti sengketa lahan dan risiko kebocoran gas beracun.

"Aspek kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan (HSSE) harus menjadi prioritas utama," ia menekankan.

Ia menjelaskan bahwa sebelum pembangunan, selalu dilakukan kajian kelayakan dan studi kelangsungan proyek.

Pemerintah juga mendorong pengembangan masyarakat berkelanjutan melalui program community development dan penyaluran bonus produksi kepada pemerintah daerah.

Langkah ini diambil untuk menjaga keberlanjutan proyek dan mendukung ekonomi lokal sebagai bentuk mitigasi isu sosial.

"Secara keseluruhan, sektor energi Indonesia adalah ranah yang sangat kompleks dan dinamis, membutuhkan kerja sama lintas sektoral dan pemikiran yang solutif dari generasi muda untuk mencapai target energi nasional dan NZE (net zero emission) pada 2060," tutup Hangga.

Penulis :
Aditya Yohan