Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Kualitas dan Harga Jadi Sorotan, Masa Depan Program Beras SPHP Diuji di Tengah Tekanan Ekonomi

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Kualitas dan Harga Jadi Sorotan, Masa Depan Program Beras SPHP Diuji di Tengah Tekanan Ekonomi
Foto: (Sumber: Warga memanggul dua kantong beras murah saat pasar murah di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (4/11/2025). Pasar murah yang digelar pemerintah setempat itu menjual bahan pangan murah seperti telur, gula pasir, minyak goreng, beras SPHP dan lain-lain sebagai upaya stabilisasi harga dan ketersediaan bahan pangan bagi masyarakat. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.)

Pantau - Program Beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) tengah menjadi sorotan publik sebagai ujian nyata kemampuan pemerintah menjaga stabilitas pangan dan daya beli masyarakat di tengah tekanan inflasi global dan fluktuasi ekonomi.

Antara Stabilitas Harga dan Kualitas Produk

SPHP bukan hanya soal distribusi beras murah, melainkan mencerminkan tata kelola sistem pangan nasional di tengah tantangan multidimensi seperti turunnya daya beli dan ancaman kelangkaan.

Direktur Utama Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhani, mengungkapkan, "Lebih dari 500 ribu ton beras SPHP telah disalurkan ke seluruh Indonesia."

Meski kapasitas logistik Bulog terbilang besar, efektivitas program dinilai belum optimal karena masih ditemui kendala dalam menjaga harga yang stabil dan kualitas beras yang sesuai harapan.

SPHP dirancang untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan beras, melindungi konsumen dari lonjakan harga, dan mencegah kelangkaan.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan sejumlah paradoks.

Program ini menjadi tumpuan utama masyarakat berpendapatan rendah, tetapi juga menjadi sasaran kritik, terutama menyangkut kualitas dan distribusinya.

Muncul laporan dari masyarakat terkait kualitas beras yang dianggap rendah dan kemasan yang tidak standar.

Menanggapi hal tersebut, Bulog memberikan klarifikasi bahwa kode pada kemasan merupakan kode produksi, bukan tanggal kedaluwarsa, dan berkomitmen menarik produk bermasalah dari pasar.

Situasi ini menegaskan perlunya sistem pengawasan mutu yang lebih transparan serta komunikasi publik yang lebih baik agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Kritik atas kualitas beras SPHP tidak hanya menyasar aspek rasa dan tampilan, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap program pemerintah.

Ketika kepercayaan menurun, maka fungsi SPHP sebagai instrumen stabilisasi sosial turut terganggu.

Diperlukan pengawasan mutu yang lebih kuat, termasuk audit dari gudang hingga pengecer serta kanal pelaporan digital yang aktif agar masyarakat bisa turut serta dalam pengawasan.

Harga Lebih Tinggi dari Pasar, SPHP Perlu Intervensi Strategis

Salah satu tantangan besar lainnya adalah harga beras SPHP yang mencapai sekitar Rp12.500 per kilogram, lebih mahal dibanding harga rata-rata beras lokal yang berada di kisaran Rp10.600 per kilogram.

Perbedaan harga ini menjadi masalah serius di tengah daya beli masyarakat yang menurun.

Alih-alih menjadi alternatif bagi kelompok rentan, beras SPHP justru kalah bersaing di pasar karena harga lebih tinggi.

Pemerintah perlu memperkuat intervensi harga secara adaptif agar tujuan program tercapai.

Salah satu solusi yang diusulkan adalah pemberian subsidi silang dari surplus hasil ekspor pangan serta optimalisasi cadangan pangan pemerintah.

Langkah ini diharapkan dapat menurunkan harga SPHP tanpa merugikan margin operasional Bulog.

Apabila dikelola dengan tata kelola yang modern, transparan, dan berbasis data, SPHP berpotensi menjadi model ketahanan pangan nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Penulis :
Aditya Yohan