Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

IHSG Diprediksi Bergerak Sideways Jelang Pengumuman BI Rate, Investor Wait and See

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

IHSG Diprediksi Bergerak Sideways Jelang Pengumuman BI Rate, Investor Wait and See
Foto: (Sumber: Layar menampilkan pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (27/10/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin sore (27/10) ditutup melemah 154,57 atau 1,87 persen ke posisi 8.117,15 seiring pelaku pasar merespon MSCI (Morgan Stanley Capital International) yang berencana melakukan penyesuaian metodologi perhitungan free float perusahaan Indonesia. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/agr​​​​​​)

Pantau - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Rabu, 17 Desember 2025, diperkirakan bergerak dalam kisaran sempit (sideways) seiring dengan sikap hati-hati investor yang menantikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI).

Pasar Menanti Keputusan Suku Bunga, Pergerakan IHSG Terbatas

IHSG dibuka menguat 21,85 poin atau 0,25 persen ke posisi 8.708,32.

Indeks saham unggulan LQ45 juga naik tipis sebesar 1,07 poin atau 0,13 persen ke level 855,4.

Kepala Riset Phintraco Sekuritas, Ratna Lim, menyebut bahwa investor masih cenderung wait and see dan melakukan trading jangka pendek, menunggu kejelasan arah kebijakan moneter.

Kondisi ini dipengaruhi oleh meningkatnya ketidakpastian global, termasuk banyaknya rilis data ekonomi serta pertemuan sejumlah bank sentral di pekan ini.

Sementara itu, nilai tukar rupiah ditutup melemah ke level Rp16.685 per dolar AS di pasar spot, meskipun indeks dolar AS cenderung melemah.

Hal ini menambah kehati-hatian pelaku pasar menjelang pengumuman BI terkait suku bunga acuan (BI Rate).

Investor memperkirakan BI akan menahan BI Rate di level 4,75 persen, mempertimbangkan tekanan terhadap rupiah dan kondisi inflasi saat ini.

Kebijakan Bea Keluar dan Data Ekonomi Global Jadi Sorotan

Dari sisi fiskal, pasar mencermati rencana pemerintah memberlakukan bea keluar untuk komoditas batu bara dan emas mulai 1 Januari 2026.

Tarif bea keluar tersebut ditetapkan:

  • Batu bara: 1–5 persen
  • Emas: 7,5–15 persen

Kebijakan ini dinilai berpotensi menekan marjin laba emiten batu bara dan emas berorientasi ekspor, namun juga meningkatkan penerimaan negara.

Dari eksternal, kekhawatiran muncul akibat data pasar tenaga kerja Amerika Serikat yang menunjukkan sinyal perlambatan.

Data nonfarm payrolls (NFP) AS pada November tercatat naik 64 ribu, lebih baik dari ekspektasi 50 ribu dan membaik dibanding kontraksi 105 ribu pada Oktober.

Namun, tingkat pengangguran AS naik menjadi 4,6 persen, melebihi perkiraan 4,5 persen dan menjadi yang tertinggi dalam lebih dari empat tahun terakhir.

Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun ada sedikit perbaikan di NFP, pasar tenaga kerja AS masih melemah.

Di sisi lain, penguatan saham-saham sektor kecerdasan buatan (AI) membantu meredam tekanan di sektor teknologi.

Pasar kini menantikan rilis data inflasi (CPI) AS untuk November, yang akan menjadi indikator utama bagi The Fed dalam menentukan arah kebijakan suku bunga ke depan.

The Fed sebelumnya menyatakan akan menggunakan pendekatan berbasis data (data dependent) dalam pelonggaran moneter yang mungkin dilakukan dalam waktu mendatang.

Penulis :
Aditya Yohan