
Pantau.com - Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) mengungkapkan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pemerintah periode 2019-2024 mendatang.
Ekonom INDEF, Rusli Abdullah mengatakan masalah sengkarut data masih menjadi permasalahan hingga saat ini. Data pangan Pemerintah di 2018 mengkoreksi sekitar 29,6 persen (13,63 juta ton).
"Masalahnya ini baru beras, belum lagi daging-daging, belum lagi Holtikultura yang menyumbang inflasi besar," ujarnya dalam sebuah diskusi di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (14/2/2019).
Baca juga: Puluhan Tahun 'Dikuras' AS, Segini Cadangan Emas Freeport
"Komoditas pangan lainnya seperti jagung, kedelai, dan produk hortikultura belum dilakukan koreksi. Ini sangat penting dalam merancang kebijakan pangan yang efektif dan tepat sasaran baik yang berkaitan dengan produksi, distribusi, hingga kebijakan perdagangan," imbuhnya.
Selain itu kata dia, manajemen produksi dan logistik komoditas pangan perlu diperbaiki. Berdasarkan data BPS, produksi beras pada semester I 2018, produksi beras surplus 5 juta ton. Rinciannya produksi 19.6 juta ton dan konsumsi 14.7 juta ton.
Pada semester II, produksi beras Defisit 2,1 juta ton. Dengan rincian produksi 12.8 juta ton dan konsumsi 14.9 juta ton.
"Hal ini menunjukkan bahwa terdapat masalah manajemen produksi dan logistik komoditas, baik antar waktu maupun antar daerah," ungkapnya.
Rusli juga mengungkapkan, impor sulit dihindari sebelum ada perbaikan tata kelola komoditas pangan, khususnya beras. Ia mencatat, sejak tahun 2000, tren impor beras meningkat.
Baca juga: Pak Jokowi! Kata Faisal Basri RI Negara Maritim, Jalan Tol Bukan Solusi
Bahkan kata dia, Impor beras 2018 merupakan tertinggi kedua sejak tahun 2000 dengan total impor 2,25 juta ton (USD1,003 juta).
"Impor tertinggi terjadi pada 2011 dengan total impor 2.75 juta ton (USD1,5 juta). lmpor dapat dikurangi jika tata kelola di produsen (petani) diperbaiki termasuk mengurangi rantai tata niaga pangan," tegasnya.
Kemudian juga terkait kesejahteraan petani, menurutnya hal ini bukanlah sekedar persoalan harga beras. Hal ini terlihat dari kenaikan harga beras yang semakin tidak berhubungan secara positif dengan kesejahteraan petani padi.
"Hubungan NTP Tanaman Pangan dengan harga beras (premium, medium dan rendah) semakin rendah dari tahun ke tahun," katanya.
Baca juga: Riset: Siapa pun Pemimpinnya, Reformasi Subsidi BBM dan Pajak Harus Lanjut
Ia mencatat, pada tahun 2015, rata-rata hubungan NTP beras adalah sebesar 0,94. Rata-rata tersebut menurun pada 2016 menjadi hanya sebesar 0,92, 0,84 pada tahun 2017, dan menjadi hanya 0,47 di 2018.
"Artinya kenaikan harga beras yang terjadi saat ini semakin tidak dinikmati oleh petani," paparnya.
Tak hanya itu, keberadaan Satuan Tugas (Satgas) Pangan juga dinilai belum efektif. Hal ini kata dia, disebabkan karena Margin Perdagangan dan Logistik Beras (MPLB) semakin meningkat.
"Pada tahun 2013. MPLB sebesar 17,27 persen, 10,43 persen (2014), 10,42 persen (2015), 10,57 persen (2016) dan 26,12 (2017). Tahun 2017 adalah tahun dimana satgas pangan dibentuk, namun MPLB justru meningkat, artinya pada awal pendirian satgas pangan, MPLB justru meningkat," katanya.
"Kedua, harga eceran tertinggi tidak efektif meredam harga beras. Selama tahun 2018, hanya satu provinsi yang rata-rata harga beras dalam satu tahun berada di bawah HET yakni Provinsi NTB sebesar Rp183.3 per kg," pungkasnya.
- Penulis :
- Nani Suherni










