
Pantau.com - Apabila perusahaan pemberi kerja mem-PHK secara sepihak terhadap karyawan alih daya yang tergabung dalam Serikat Pekerja maka harus dilihat dulu ketentuan yang berlaku dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) kedua belah pihak.
"Masalah biasanya terjadi bila kontrak kerja tidak diperpanjang," kata Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) Greg Chen di Jakarta, Kamis (28/2/2019).
Sesuai ketentuan perundang-undangan, kata dia, sah saja memutus kontrak atau PHK di tengah jalan. Tapi Undang-undang mengharuskan klien membayar gaji pokok dan juga tunjangan yang masih tersisa sesuai kontrak yang harus dijalani.
"Jika semua regulasi diikuti umumnya tidak akan terjadi masalah," kata Greg.
Baca juga: Pengusaha: Sopir Masuk Tol Rp700 Ribu, Keluar Tol Hemat Rp500 Ribu
Di bidang industri apapun, termasuk migas, perkapalan dan perbankan, bila aturannya diikuti, komunikasi lancar dan ada itikad baik, maka akan berjalan mulus.
Sebaliknya masalah terjadi, jika kontraknya tidak diperpanjang, namun ada risiko terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran aturan oleh vendor. Ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum atau melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), ujarnya. Namun demikian penyelesaian melalui jalur PHI amat tidak diminati mengingat proses penyelesaian yang panjang, berbelit dan menghabiskan dana tidak sedikit.
"Mereka akan lebih memilih penyelesaian langsung melalui perundingan bipartit dengan karyawan atau pekerja," kata dia.
Sebenarnya sistem pekerjaan kontrak tidak dapat diberlakukan terlalu lama. Ada jangka waktu masa kontrak pekerjaan, yaitu maksimal selama dua tahun.
Baca juga: Kesal Info Garuda Turun Harga, Netizen: Ini Harga Tiket ya Allah?
Selanjutnya bisa diperpanjang maksimal satu tahun. Setelah masa tersebut terlampaui, maka dapat diperpanjang lagi untuk dua tahun berikutnya. Namun harus melalui masa pembebasan kontrak selama sebulan.
"Jadi siklus pekerja kontrak, maksimal adalah lima tahun masa kerja," katanya.
Didasari UU Secara terpisah, mantan pengurus LBH Nasional Bukhori Hasibuan mengatakan, tindakan pemutusan hubungan kerja harus didasari UU. Menurut pengacara dari firma hukum Bukhori Hasibuan dan Rekan, ada sejumlah cara mengatasi konflik dalam PHK.
Pertama adalah melakukan mediasi atau musyawarah yang difasilitasi melalui Dinas Tenaga Kerja setempat. Alternatif kedua adalah penyelesaian yang dilakukan lewat PHI.
Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan KADIN Indonesia sekaligus Ketua Tetap Sertifikasi dan Kompetensi Apindo Iftida Yasar mengemukakan, sebenarnya pekerjaan alih daya ataupun paruh waktu dilakukan melalui sistem kerja sama kedua belah secara "business to business" (b to b).
Baca juga: Daftar Haji Makin Mudah dengan Jaminan Emas! Cek Dulu Deh
Misalnya perusahaan pemberi pekerjaan seperti antara pihak pelabuhan dengan perusahaan penyedia jasa kontainer.
"Setelah itu perusahaan penyedia jasa 'outsourcing' itu melakukan kontrak kerja dengan karyawannya sehingga kerja sama ini melibatkan tiga pihak," katanya.
Sejumlah hal diatur di dalam sistem pekerjaan tersebut. Antara lain, jangka waktu berakhirnya pekerjaan atau sistem yang diberlakukan bila nantinya perusahaan tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan, maka akan berakhir juga hubungan kerja.
"Sebaliknya kalau tidak ada sistem kerja yang mengatur, bila di kemudian hari terjadi pengakhiran kontrak sebelum masa yang seharusnya berakhir, maka perusahaan pemberi kerja harus membayar sisa kontrak sesuai perjanjian kerja sama," ujar Iftida.
- Penulis :
- Nani Suherni