
Pantau.com - Bagaimanapun, kalangan pengusaha mengaku menyambut positif kemenangan Joko Widodo dalam Pilpres, kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman seluruh Indonesia, Adhi S Lukman.
Walau begitu mereka mendesak Jokowi memastikan sejumlah kemudahan bagi pelaku industri, terutama di bidang makanan dan minuman yang masih bergantung pada bahan baku impor.
"Ini momen yang bagus untuk keberlanjutan pembangunan karena kami tidak perlu mulai dari nol, untuk belajar kebijakan presiden baru," ujarnya dilansir BBC.
Baca juga: Suara Pengusaha Pasca Pemilihan Presiden Rampung
"Bagi kami yang penting adalah ketersediaan bahan baku. Amanat UU 3/2014 tentang perindustrian, itu merupakan tanggung jawab pemerintah," tambahnya.
Adhi berkata, pada 2014 terjadi perbedaan pendapat antara beberapa kementerian dan lembaga negara, yang menghambat impor bahan baku industri pangan.
Tak cuma itu, kata Adhi, stabilitas nilai tukar rupiah juga kunci pelaku industri mendapatkan bahan baku impor. Rupiah yang terus melemah disebutnya berdampak nyata bagi industri makanan-minuman.
"Nilai rupiah sangat perlu diatasi karena terbukti, tahun 2018 dengan fluktuasi tinggi jadi kendala bagi kami. Harga pokok produksi meningkat dan daya saing pun menurun," kata Adhi.
Baca juga: China Mulai Merapat ke Pasar Eropa, Jack Ma: Mereka Mulai Khawatir
Apa solusi ke depan?
Menurut Bhima Yudhistira dari INDEF, terdapat potensi defisit anggaran yang makin besar tahun 2019. Beberapa penyebabnya adalah belanja bantuan sosial yang tinggi serta biaya pegawai negeri yang membesar usai kenaikan gaji ke-13.
Untuk menggenjot penerimaan negara, Bhima mendorong pemerintah fokus mengalihkan ekspor ke pasar alternatif, selain AS dan China yang tengah berkonflik dagang.
Salah satu solusi lainnya, kata dia, adalah menyerap komoditas sawit yang berlebih di dalam negeri untuk program B20 dan tenaga diesel Perusahaan Listrik Negara.
Baca juga: RDG OJK: Tensi Perang Dagang AS-China Tekan Pasar Keuangan Global
Dalam periode keduanya, Jokowi disebut Bhima sebaiknya fokus pada siasat jangka pendek, ketimbang mengejar pertumbuhan ekonomi besar.
"Perkiraan ekonomi Indonesia sampai tahun 2020 tertahan di 5,2 persen. Itu proyeksi yang cukup optimistis," tegasnya.
"Yang lebih urgen memperbaiki neraca perdagangan dan stabilitas rupiah utama agar pengusaha dalam negeri tidak tertekan," kata Bhima.
"Itu perhatian dalam dua-tiga tahun ke depan. Setelah kondisi global stabil, kita bisa bicara pertumbuhan ekonomi di 2023-2024," tuturnya.
rn- Penulis :
- Nani Suherni