Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Wabah Korona Menyerang, 3 Keputusan Ini Bisa Berakibat Fatal Lho!

Oleh Tatang Adhiwidharta
SHARE   :

Wabah Korona Menyerang, 3 Keputusan Ini Bisa Berakibat Fatal Lho!

Pantau.com - Efek virus Korona membuat orang-orang di banyak negara diselimuti kekhawatiran. Betapa tidak, penularan COVID-19 terbilang cepat mendorong orang-orang untuk cepat mengambil keputusan yang dianggap tepat, tapi ini bisa aja berakibat fatal.

Sejauh ini, ada 148 negara berada dalam pantauan terkait infeksi virus asal China ini. Efek Korona seperti yang tercatat dalam Data Mapping 2019-nCoV Johns Hopkins University telah menulari lebih dari 169 ribu orang di dunia.

Dari banyaknya yang tertular, sudah lebih dari 77 ribuan orang dinyatakan sembuh. Sementara sekitar 6.513 orang dinyatakan meninggal dunia.

Baca juga: Yurianto: 700 Ribu Penduduk Indonesia Berisiko Terinfeksi COVID-19

Indonesia termasuk salah satu negara yang terpapar efek Korona. Tercatat sebanyak 369 kasus, di antaranya 320 dalam perawatan, 17 sembuh dan 32 meninggal.

Masyarakat Indonesia masih menanti-nanti kabar terbaru soal kasus virus Korona ini sambil bersiap terhadap kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.  Adapun keputusan belanja kebutuhan pokok dalam jumlah besar seperti yang dilakukan beberapa waktu lalu pasca pengumuman temuan virus Korona di Indonesia menjadi salah satu langkah antisipatif yang diambil.

Padahal, keputusan yang mungkin dianggap tepat tersebut bisa aja berujung kesalahan. Kenapa bisa begitu? Pantau.com mencoba merangkum beberapa keputusan yang dianggap tepat tapi justru salah.

1. Panic Buying

Ilustrasi panic buying. (Foto: Istimewa)

Perkembangan kasus virus Korona di dunia begitu mudah diketahui banyak orang, termasuk oleh mereka yang ada di Indonesia. China adalah salah satu negara yang paling disorot atas merebaknya virus COVID-19.

Salah satu yang menjadi berita adalah langkanya masker di negara tersebut karena orang-orang (termasuk mereka yang sehat) berbondong-bondong membelinya. Kelangkaan masker disebabkan pembatasan kegiatan usaha di China. Pembatasan tersebut bertujuan buat memperlambat penularan virus korona.

Pada akhirnya, Pemerintah China mengisolasi (lockdown) Kota Wuhan yang menjadi pusat penyebaran virus. Orang-orang yang tinggal di Kota Wuhan pun bereaksi dengan berbelanja barang-barang kebutuhan. Kepanikan yang melanda orang-orang Wuhan otomatis mendorong mereka memborong barang-barang kebutuhan yang tersedia. Situasi ini pun disebut sebagai panic buying.

Panic buying adalah belanja besar-besaran yang didorong situasi tertentu (semisal bencana) dengan tujuan mengantisipasi terjadinya kelangkaan atau kenaikan harga.  Bukan di China saja, panic buying ternyata juga terjadi di beberapa negara, antara lain Hong Kong, Inggris, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Indonesia, dan masih banyak lagi.

Di Indonesia panic buying terjadi di Jakarta. Saat Kementerian Kesehatan mengonfirmasi temuan orang yang terjangkiti virus korona, saat itu pula banyak orang mendatangi pusat perbelanjaan dan membeli banyak barang kebutuhan. Selain khawatir tertular virus korona, mereka juga khawatir kalau Pemerintah sewaktu-waktu memutuskan buat me-lockdown Jakarta. Alhasil, keberadaan masker mendadak langka. Begitu juga dengan ketersediaan hand sanitizer.

Konsekuensi Panic Buying

Keadaan panik sudah menjadi naluri alamiah manusia. Sulit buat menyalahkan mereka yang panik lalu belanja banyak barang kebutuhan dalam situasi sekarang. Sekali pun terkesan tidak rasional, panic buying menjadi cara menghilangkan rasa was-was dan mendapatkan kembali ketenangan. Tindakan ini bukannya tanpa konsekuensi.

Panic buying berimbas pada kelangkaan beberapa barang di pasaran, seperti masker, vitamin, suplemen, dan hand sanitizer. Padahal ada orang-orang yang sebenarnya lebih membutuhkan, semisal orang sakit yang membutuhkan masker.

Tingginya permintaan barang, tapi ketersediaannya terbatas ini kemudian dimanfaatkan spekulan dadakan yang menjual barang-barang tersebut dengan harga yang tinggi demi keuntungan yang sebesar-besarnya. Nah, ini merugikan banyak orang kan!

2. Lockdown

Ilustrasi sebuah kota di Lockdown. (Foto: Istimewa)

Frasa lockdown begitu digaungkan beberapa waktu lalu di media sosial. China yang mengisolasi Kota Wuhan seakan menjadi contoh betapa bijaknya Pemerintah dalam menanggulangi penularan infeksi akibat COVID-19.

Pemerintah China sejauh ini berdasarkan informasi yang beredar hanya mengisolasi Kota Wuhan, sekalipun penyebaran virus merata di seluruh tempat.  Keputusan ini tak hanya Negeri Tirai Bambu saja, banyak negara yang menerapkan kebijakan serupa, seperti:

Italia, lockdown sejak 10 Maret
Denmark, lockdown sejak 14 Maret
Irlandia, lockdown sejak 12 Maret
Spanyol, lockdown sejak 15 Maret
Perancis, lockdown sejak 14 Maret
Polandia, lockdown diumumkan sejak 13 Maret
Filipina, lockdown (Kota Manila) sejak 15 Maret
Malaysia, lockdown sejak 18 Maret.

Upaya China sejauh ini dalam mengisolasi Kota Wuhan membuahkan hasil yang positif. Penyebaran virus melambat karena interaksi antarmanusia berkurang (social distancing) sebagai konsekuensi dari lockdown.

Baca juga: Ketika Wabah Virus Korona Merajalela, Ketahui Apa Itu Lockdown

Tingkat kesembuhan pasien infeksi virus Korona di China terbilang tinggi. Dari 81.049 orang, sebanyak 68.777 pasien dinyatakan sembuh. Sementara 3.230 pasien tidak terselamatkan. Lockdown Kota Wuhan yang dilakukan Pemerintah China sukses memperlambat penularan virus sehingga banyak pasien yang tertangani. Itulah kenapa banyak negara yang akhirnya melakukan kebijakan serupa.

Konsekuensi Lockdown

Namun, konsekuensinya berdampak pada kegiatan ekonomi di Kota Wuhan dan sekitarnya terhenti dengan adanya isolasi. Apalagi Kota Wuhan masuk dalam jajaran 10 kota di China dengan PDB terbesar.

Dalam skala nasional, efek Korona telah memukul perekonomian China. Economist Intelligence Unit (EIU) memperkirakan pertumbuhan ekonomi China cuma mencapai 4,5 persen sepanjang tahun 2020. Perkiraan EIU tersebut lebih rendah dibandingkan capaian pertumbuhan ekonomi China tahun 2019 lalu yang berada di persentase 6,0 persen. Berangkat dari China, efek Korona kemudian menyasar banyak negara dan turut berefek negatif terhadap ekonomi secara global.

Di Indonesia desakan lockdown sangat gencar di media sosial. Padahal, opsi tersebut di sisi ekonomi dapat sangat merugikan. Sampai saat ini tak terpikirkan oleh Presiden Joko Widodo buat mengambil keputusan isolasi tersebut. Jika kita lihat, bukan hanya Jakarta yang terdampak krisis, perekonomian nasional bisa saja terseret dalam pusaran tersebut.

Sekadar informasi, sekitar 70 persen uang di Indonesia berputar di Jakarta. Dampak lockdown ini masih ditambah dengan terganggunya distribusi barang yang masuk ke Jakarta. Langkanya barang yang masuk ke Jakarta dapat memicu lonjakan inflasi 4-6 persen. Pasalnya, Jakarta termasuk kota penyumbang inflasi terbesar, yaitu 20 persen dari total nasional.

Meski banyak negara melakukan lockdown, faktanya banyak juga negara yang gak memberlakukan opsi tersebut. Sebut saja Singapura yang tidak mengambil kebijakan tersebut, tapi bisa meminimalkan penularan. Lalu ada Korea Selatan dengan jumlah orang tertular mencapai 8.320 jiwa, tapi telah berhasil menyembuhkan sebanyak 1.137 jiwa.

3. Panic Selling

Ilustasi panic selling. (Foto: ANC News)

Mereka yang berinvestasi di pasar modal begitu khawatir dengan perkembangan kasus virus Korona saat ini.  Sampai akhirnya indeks bursa saham di banyak negara terkoreksi karena banyaknya pemodal yang menjual saham (panic selling).

Panic selling merupakan penjualan dalam skala besar di pasar modal ataupun pasar saham yang akhirnya memicu penurunan harga.

Saat harga saham terkoreksi, harga emas beranjak naik karena dinilai bisa melindungi nilai kekayaan (hedge) dari risiko perlambatan ekonomi akibat efek Korona. Nyatanya, kenaikan harga emas ada batasnya. Emas pun ikut terkoreksi karena orang-orang pada akhirnya lebih membutuhkan dana tunai (cash).

Di Indonesia, efek Korona telah mengoreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sedemikian dalam. Pada awal Januari 2020, IHSG berada di kisaran angka 6.325. Kini per Maret 2020, angkanya di kisaran 4.494. Banyak saham dijual yang kemudian bikin harganya terjun, tak terkecuali saham berkapitalisasi pasar Rp 10 triliun alias saham blue chip. Menurunnya indeks (bearish) di banyak bursa saham ini menjadi sinyal pesimisnya para pemodal memandang kondisi ekonomi ke depan.

Beberapa langkah pun diambil buat mengantisipasi perlambatan ekonomi. Salah satunya yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, yang memangkas suku bunga acuan.

Konsekuensi Panic Selling

Sentimen begitu berperan dalam perubahan harga saham. Sentimen positif mendorong kenaikan harga (bullish), sedangkan sentimen negatif memicu penurunan harga (bearish).

Keputusan menjual saham sebagai bentuk reaksi atas efek Korona memang menjadi sentimen negatif. Tindakan tersebut sah saja dilakukan demi menyelamatkan modal yang diinvestasikan.

Di sisi lain, aksi menjual saham secara masif memotivasi trader atau investor lainnya buat menjual. Alhasil, panic selling pun terjadi.

Mereka yang terlambat menjual buat menyelamatkan modal dan keuntungan mau gak mau memilih cut loss. Konsekuensinya, bukan cuma keuntungan yang hilang, modal pun juga berkurang karena aksi jual rugi (cut loss).

Penulis :
Tatang Adhiwidharta