
Pantau - Debat Umum sesi ke-80 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) resmi berakhir pada Senin, 29 September 2025, dengan pidato penutup dari Presiden Sidang Majelis Umum PBB, Annalena Baerbock.
Pidato Penutup dan Refleksi PBB
Sebanyak 189 negara anggota PBB menyampaikan pidato dalam Debat Umum, termasuk 124 kepala negara dan pemerintahan.
Dalam pidato penutupnya, Baerbock menegaskan kembali relevansi PBB di tengah tantangan global.
"Pada awal pekan ini, kita menyebut PBB sebagai rumah diplomasi dan dialog, yang berada di persimpangan jalan, tempat kita berkumpul untuk membahas isu-isu sulit di masa yang penuh tantangan. Jika pekan tingkat tinggi ini menjadi indikasi, rumah ini memenuhi tujuannya: PBB masih relevan," ungkapnya.
Ia menambahkan, selama sepekan penuh berlangsung momen penuh energi tinggi yang mencerminkan tekad kolektif negara anggota.
"Debat Umum pekan ini, dengan partisipasi yang kuat dan kata-kata yang penuh semangat, menunjukkan bahwa kita mampu menemukan kekuatan untuk mengangkat kepemimpinan bersama kita, menemukan solusi kolektif, dan memilih jalan yang benar di persimpangan jalan. Mari kita terinspirasi oleh warisan masa lalu kita, dan berani untuk masa depan yang lebih baik yang dengan bersama-sama akan lebih baik. Tanpa rasa takut. Tak tergoyahkan. Bersatu," ujarnya.
Sidang tahun ini juga bertepatan dengan peringatan 80 tahun berdirinya PBB, menjadi momen bagi para pemimpin dunia untuk mengevaluasi delapan dekade terakhir sekaligus merencanakan masa depan.
Isu Panas dan Kontroversi dalam Pekan Tingkat Tinggi
Isu utama yang mewarnai sidang tahun ini meliputi perang di berbagai kawasan, persaingan negara adidaya, krisis iklim, serta lambannya kemajuan pembangunan berkelanjutan.
Selain Debat Umum, terdapat sejumlah pertemuan tingkat tinggi lain, antara lain Konferensi Internasional Penyelesaian Damai Palestina dan Solusi Dua Negara, KTT iklim, Sustainable Development Goals Moment, peringatan 30 tahun Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan, serta pertemuan tata kelola kecerdasan buatan.
Dukungan bagi Palestina semakin menguat setelah Prancis, Inggris, Kanada, dan Australia mengumumkan pengakuan atas hak Palestina mendirikan negara, yang membuat Israel dan Amerika Serikat semakin terisolasi.
Pidato Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 26 September memicu aksi walk out massal dari sejumlah delegasi sebagai bentuk protes.
Sementara itu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas tidak bisa hadir ke New York karena larangan visa dari Amerika Serikat, sehingga ia menyampaikan pidatonya secara daring. Presiden Kolombia Gustavo Petro bahkan dicabut visanya setelah ikut demonstrasi pro-Palestina di luar kantor PBB, hingga menyebut New York mungkin tidak lagi layak sebagai markas PBB.
Dari pihak Amerika Serikat, Presiden Donald Trump menyerang PBB dalam pidatonya dengan mengeluhkan teleprompter rusak dan eskalator mati.
Kontroversi juga muncul ketika pembawa acara Fox News, Jesse Watters, menyebut, "Yang perlu kita lakukan adalah keluar dari PBB atau kita perlu mengebomnya ... mungkin menembakkan gas ... kita perlu menghancurkannya." Ia kemudian meminta maaf melalui pernyataan yang disampaikan juru bicara PBB, Stephane Dujarric.
Tahun ini juga diwarnai penyalahgunaan visa oleh AS sebagai negara tuan rumah, menambah ketegangan diplomatik dalam perhelatan tingkat tinggi tersebut.
- Penulis :
- Leon Weldrick