
Pantau - Lima tahun setelah ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020, ibu kota Lebanon itu masih menunjukkan luka fisik dan emosional yang dalam, dengan banyak bangunan yang belum dipulihkan dan keadilan bagi para korban yang belum ditegakkan.
Ledakan tersebut dipicu oleh hampir 3.000 ton amonium nitrat yang disimpan bertahun-tahun di pelabuhan tanpa pengamanan yang layak.
Lebih dari 200 orang tewas, ribuan lainnya terluka, dan pusat kota Beirut mengalami kerusakan besar.
Ledakan itu bahkan tercatat sebagai salah satu ledakan nonnuklir terbesar dalam sejarah, menghasilkan guncangan setara gempa berkekuatan 3,3 magnitudo.
Silo Gandum Jadi Simbol Trauma dan Ketahanan
Salah satu struktur yang masih berdiri meskipun rusak berat adalah silo gandum di pelabuhan, yang kini menjadi simbol luka sekaligus perlindungan bagi Beirut.
Struktur itu diyakini menyerap sebagian besar kekuatan ledakan dan menyelamatkan sebagian kota dari kehancuran total.
Rima Hocheimy, warga yang tinggal di apartemen menghadap pelabuhan, menyatakan ambivalensinya terhadap keberadaan silo tersebut.
"Saya tidak tahu apa yang saya rasakan tentang silo itu. Silo itu selalu mengingatkan saya pada kengerian yang kami alami. Namun, saya juga tahu bahwa silo itu menyelamatkan keluarga saya. Saya tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi tanpa silo itu," ungkapnya.
Rima dan anaknya Elia selamat meski terluka oleh pecahan kaca dan kayu saat rumah mereka hancur.
Elia, yang saat itu baru berusia empat tahun, mengalami trauma berkepanjangan seperti mimpi buruk, ketakutan akan kegelapan, dan kepekaan terhadap suara keras.
"Ketika serangan Israel terjadi tahun lalu, semua pesawat, drone, dan bom memunculkan kenangan buruk baginya," tambah Rima.
Ia yang lahir saat perang saudara Lebanon menyatakan bahwa hidupnya selalu dipenuhi kehancuran berulang dan rasa tidak aman.
"Rumah kami dibangun kembali, tetapi keamanan tidak pernah kembali. Beberapa luka tidak pernah sembuh," ujarnya.
Rekonstruksi Lambat, Keadilan Mandek
Pemerintah Lebanon menyebutkan sekitar 8.000 bangunan rusak akibat ledakan, dengan puluhan bangunan bersejarah terancam runtuh.
Namun, proses rekonstruksi terhambat oleh kekurangan dana, ketidakstabilan politik, dan kendala teknis.
Lebih menyakitkan lagi bagi para korban dan keluarga mereka adalah tidak adanya akuntabilitas.
Ledakan tersebut dianggap sebagai akibat kelalaian dan kegagalan institusional selama bertahun-tahun, namun hingga kini tidak ada satu pun pihak yang benar-benar dimintai pertanggungjawaban.
Penyelidikan berulang kali terhambat oleh intervensi politik, gugatan hukum, dan pemberhentian hakim yang menangani kasus ini.
Kepercayaan publik terhadap pemerintah Lebanon runtuh bersamaan dengan ledakan yang mengguncang Beirut.
"Para pemimpin menjanjikan keadilan, tetapi para pengamat dan kelompok akar rumput bersikeras bahwa hanya penyelidikan yang adil dan independen yang dapat mulai menutup luka," tulis laporan tersebut.
Menjelang peringatan lima tahun tragedi, nama jalan di dekat pelabuhan diubah menjadi Jalan Para Korban 4 Agustus.
Warga Beirut berkumpul dalam keheningan di lokasi itu, menunjukkan kesedihan dan tekad untuk terus menuntut pertanggungjawaban.
Silo gandum masih berdiri, meski para insinyur memperingatkan bahwa bangunan itu bisa runtuh sewaktu-waktu.
Pemerintah sempat merencanakan penghancuran silo pada 2022 demi alasan keamanan, namun tekanan dari keluarga korban membuat rencana itu ditangguhkan.
Bagi mereka, silo tersebut bukan sekadar bangunan, melainkan tugu peringatan penting.
Penutup laporan ini menyiratkan harapan dan refleksi mendalam: mungkin silo itu menunggu Lebanon menentukan bagaimana menghormati para korban dan membangun sesuatu yang lebih baik dari reruntuhan masa lalu.
"Mungkin kita semua juga begitu," tulis narasi penutupnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf