
Pantau - Polemik putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menjatuhkan sanksi terhadap 9 hakim MK rupanya belum usai.
Kabar terbaru datang dari Advokat Muda Pengawal Konstitusi yang melaporkan 3 anggota MKMK ke Dewan Etik MK terkait putusan sidang pelanggaran etik buntut pemberhentian Anwar Usman sebagai Ketua MK.
"Kami Advokat Muda Pengawal Konstitusi merasa perlu untuk mengadukan ke kode etik Mahkamah Konstitusi dikarenakan atas putusan MKMK tersebut secara nyata telah melanggar dan bertentangan dengan peraturan MK nomor 1 tahun 2023 tentang MKMK," kata perwakilan Advokat Muda Pengawal Konstitusi, Rahmansyah, di gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (10/11/2023).
Dia menilai, mestinya Anwar Usman diberi sanksi pemberhentian secara tidak hormat (PTDH) alias dipecat sebagai Ketua MK. Pasalnya, hanya ada 3 sanksi yang bisa diberikan sesuai aturan MK, antara lain teguran lisan, tertulis, serta PTDH.
"Putusan ini diberhentikan secara hormat, sehingga dengan putusan tersebut nyatanya tak diatur dalam pasal 41 peraturan MK nomor 1 tahun 2023," paparnya.
Rachmansyah merasa putusan pemberhentian secara hormat terhadap Anwar Usman tak sesuai peraturan di MK. Maka, 3 anggota MKMK dinilainya juga melanggar kode etik.
"Iya, dari pengamatan kami selaku Advokat Muda Pengawal Konstitusi bahwa penerapan putusan itu sangat tidak sinkron dalam aturan yang kami ketahui. Harusnya diberhentikan secara tidak hormat," jelas dia.
Begini isi putusan sidang MKMK
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membacakan putusan terkait dugaan pelanggaran kode etik Ketua MK Anwar Usman beserta para hakim konstitusi lainnya.
Dalam putusan tersebut, MKMK memutuskan bahwa Anwar Usman resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua MK.
“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada hakim terlapor,“ kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie di Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/11/2023).
Diberitakan sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menegaskan, pihaknya hanya menangani persoalan etik hakim, tidak bisa mengubah keputusan MK.
"Karena di antara laporan itu ada permintaan untuk mengubah pencapresan sampai begitu, padahal kita ini hanya kode etik, hanya menegakkan kode etik hakim, bukan mengubah keputusan MK," ujar Jimly.
Jimly menuturkan, persepsi yang muncul dari berbagai laporan yang masuk beragam. Ia mengakui tak mudah untuk memproses hal tersebut hingga akhirnya diputuskan sidang dilakukan secara terbuka.
"Maka kami sudah ya bersepakat mengadakan persidangan terbuka. Itu tidak sesuai dengan aturan yang dibuat MK tapi kita bikin terbuka sepanjang menyangkut pelapor," ujarnya.
Jimly meminta para pelapor dugaan pelanggaran etik meyakinkan MKMK saat sidang dengan argumen-argumen yang didasari logika hukum.
"Intinya, pertama, bagaimana Anda meyakinkan lembaga penegak kode etik, mengurusi perilaku para hakim, lalu membatalkan putusan," imbuhnya.
- Penulis :
- Khalied Malvino
- Editor :
- Khalied Malvino