
Pantau - Mulai 2 Januari 2026, Indonesia resmi memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru, menggantikan sistem hukum pidana warisan kolonial yang telah digunakan selama puluhan tahun.
Momen ini menjadi tonggak sejarah dalam perjalanan hukum Indonesia karena untuk pertama kalinya KUHP dan KUHAP disusun sepenuhnya berdasarkan nilai Pancasila, konstitusi, kebutuhan masyarakat Indonesia, dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
Bukan Sekadar Ganti Pasal, Tapi Paradigma Baru Penegakan Hukum
Anggota Komisi III DPR RI, Adang Daradjatun, mengingatkan bahwa perubahan ini tidak boleh dipahami hanya sebagai pergantian norma hukum.
"Harapannya ke depan KUHP dan KUHAP baru akan membawa perubahan paradigma yang fundamental", ungkapnya.
Adang menjelaskan bahwa pendekatan hukum pidana kini tidak lagi sekadar represif, tetapi menekankan pada prinsip ultimum remedium, keadilan restoratif, dan pidana alternatif non-pemenjaraan, serta mengakui living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat.
Aparat penegak hukum (APH) seperti Polri, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan dituntut meninggalkan pola lama yang hanya berorientasi pada penghukuman.
Jika tidak disiapkan secara maksimal, penerapan KUHP dan KUHAP yang baru dapat menimbulkan kebingungan di lapangan, disparitas penegakan hukum, dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
"Oleh karena itu, kesiapan APH harus dimaknai secara menyeluruh, maksimal dan efektif", tegas Adang.
Tiga Pilar Kesiapan Aparat Hukum Jadi Penentu
Adang menjelaskan bahwa kesiapan aparat penegak hukum harus mencakup tiga aspek utama:
1. Kesiapan Konseptual dan Pemahaman Substansi Hukum
APH harus memahami filosofi, tujuan, dan semangat pembaruan hukum pidana nasional, bukan sekadar menghafal pasal. Tanpa pemahaman utuh, norma baru bisa disalahartikan dan menyimpang dari semangat keadilan.
2. Kesiapan Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan
Pendidikan dan pelatihan harus dilakukan secara berjenjang, terstruktur, dan seragam. Kurikulum pendidikan di lembaga penegak hukum harus diperbarui, dan pedoman teknis antar lembaga perlu diharmonisasi untuk mencegah perbedaan tafsir.
3. Kesiapan Sistem dan Budaya Hukum
APH harus bertransformasi dari sekadar "penegak pasal" menjadi “penjaga keadilan”. KUHP dan KUHAP baru menjadikan hukum pidana sebagai sarana terakhir penyelesaian konflik, bukan instrumen utama.
"Pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada pemulihan harus menjadi bagian dari budaya kerja aparat penegak hukum", tambah Adang.
Komisi III DPR Kawal Implementasi di Masa Transisi
Adang menekankan bahwa dalam masa transisi ini, fungsi pengawasan DPR sangat krusial.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memastikan:
Seluruh peraturan pelaksana disusun dan disahkan tepat waktu.
Sosialisasi kepada masyarakat dilakukan secara luas dan berkelanjutan.
Evaluasi berkala terhadap kesiapan institusi hukum dilakukan secara transparan.
"Kami akan terus mengawal agar implementasi KUHP dan KUHAP baru tidak melenceng dari tujuan pembaruan hukum pidana nasional", tegasnya.
Penentu Keberhasilan: Integritas dan Kesiapan Aparat
Adang menutup pernyataannya dengan penekanan bahwa keberhasilan pembaruan hukum pidana ini sepenuhnya bergantung pada keseriusan aparat penegak hukum.
Jika APH siap secara konsep, kelembagaan, budaya hukum, dan memiliki integritas kuat, maka KUHP dan KUHAP baru akan menjadi tonggak kemajuan hukum nasional.
Namun jika kesiapan itu tidak matang, maka pembaruan ini justru bisa menjadi beban baru dalam penegakan hukum.
"Pilihan ada pada kita semua, terutama para penegak hukum sebagai garda terdepan keadilan", pungkasnya.
- Penulis :
- Gerry Eka







