
Pantau - Sedikitnya tiga polisi dan satu tentara paramiliter Pakistan, serta satu gerilyawan tewas, dalam insiden serangan terhadap pos keamanan di provinsi Baluchistan, di barat daya Pakistan, hari Minggu (2/7).
Kepala polisi setempat, Abdul Salam Baloch, mengatakan meskipun pihaknya berhasil menewaskan seorang gerilyawan, tetapi lainnya melarikan diri ke daerah pegunungan di distrik Shirani, yang berbatasan dengan Waziristan Utara di mana terdapat banyak tempat persembunyian.
Baloch mengatakan para penyerang menyerang pos keamanan gabungan polisi dan paramiliter itu dengan menggunakan granat tangan, granat berpeluncur roket, dan senapan serbu.
Seorang pejabat tinggi administrasi di distrik Shirani, Bilal Shabbir, mengatakan dua gerilyawan dan satu tentara paramiliter luka-luka dalam baku tembak yang berlangsung selama sekitar dua jam itu. Para penyerang berhasil melarikan diri meskipun kaki dan tangan mereka luka-luka.
Ditambahkannya, pasukan keamanan langsung melancarkan operasi pencarian di daerah itu dan pegunungan sekitarnya, untuk melacak para pelaku. Kepala pemerintah provinsi Abdul Quddos Bizenio mengutuk serangan itu, dan mengungkapkan kesedihan atas tewasnya empat petugas.
Belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, tetapi gerilyawan Tehreek-e-Taliban Pakistan, yang merupakan organisasi terlarang dan dikenal sebagai Taliban Pakistan atau TTP, diketahui beroperasi di daerah itu dan dalam beberapa bulan terakhir ini telah terlibat dalam berbagai serangan terhadap pasukan keamanan.
TTP adalah kelompok terpisah tetapi bersekutu dengan Taliban Afghanistan yang kembali berkuasa pada pertengahan Agustus 2021 setelah Amerika dan pasukan koalisi ditarik mundur.
Kerusuhan terbesar terjadi di Marseille di mana polisi menembakkan gas air mata dan terlibat baku hantam dengan sejumlah remaja hingga larut malam.
Di Paris, aparat keamanan berbaris di Champs Elysees Avenue yang terkenal setelah muncul seruan di media sosial untuk berkumpul di tempat itu. Toko-toko di sekitar lokasi ini ditutup untuk mencegah kerusakan lebih luas.
Rumah Walikota L’Hay-les-Roses Diserang, Istri & Anak Luka
Meskipun demonstrasi dan kerusuhan mulai surut, Walikota L’Hay-les-Roses di pinggiran kota Paris, Vincent Jeanburn mengatakan istri dan salah seorang anaknya luka-luka ketika mereka berupaya melarikan diri dari rumah setelah sebuah mobil merangsek ke rumah mereka dan terbakar. Saat kejadian Jeanburn sedang tidak berada di rumah.
Kepala Kepolisian Paris Laurent Nunez menyebut serangan ini sebagai tindakan yang direncanakan. Ia memastikan tidak akan mengurangi jumlah personil polisi yang menjaga seluruh wilayah Prancis untuk menghadapi berbagai aksi demonstrasi dan kerusuhan.
“Saya ingin mengirim pesan yang tegas, bahwa kami akan sangat reaktif, dan sebagaimana yang telah kami lakukan di malam-malam sebelumnya, kami akan melakukan penangkapan secara masif. Kami akan terus melakukan pekerjaan kami, yaitu mengatasi aksi kekerasan da pelanggaran di mana pun di wilayah ini,” kata polisi.
Tersangka Penembak Minta Maaf pada Keluarga Nahel
Tim jaksa mengatakan seorang polisi yang mengaku melepaskan tembakan yang membunuh Nahel telah memberitahu mereka bahwa ia melakukan hal itu karena ingin mencegah perburuan dan khawatir ia dan orang lain akan luka-luka akibat perburuan itu.
Polisi yang terlibat itu sedang diselidiki karena “voluntary homicide,” atau tindakan membunuh orang lain secara melawan hukum dengan tanpa direncanakan terlebih dahulu, atau sebagai akibat dari suatu keadaan.
Polisi itu telah menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga korban.
Ibu Nahel mengatakan kepada stasiun televisi France 5 bahwa ketika polisi melihat “seorang anak yang kelihatan seperti seorang Arab, ia ingin mengambil nyawanya.”
Kelompok-kelompok hak asasi dan warga yang tinggal di kawasan berpendapatan rendah dengan penduduk dari ras campuran, yang mengelilingi kota-kota besar di Prancis, telah sejak lama mengeluhkan kekerasan polisi dan rasisme sistemik di lembaga penegak hukum.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan kerusuhan yang terjadi ini merupakan kesempatan bagi Prancis “untuk mengatasi masalah rasisme yang sangat dalam dalam soal penegakan hukum.”
Bantah Rasisme Sistemik di Prancis, Macron Gelar Rapat Khusus
Presiden Emmanuel Macron menyangkal adanya rasisme sistemik di Prancis. Meskipun demikian ia hari Minggu melangsungkan pertemuan khusus dengan sejumlah menteri dan pejabat keamanan untuk mengkaji situasi yang bergejolak itu.
Macron telah menangguhkan lawatan kenegaraannya ke Jerman, yang sedianya dimulai hari Minggu 2 Juli ini. Lawatan yang direncanakan sejak lama ini awalnya diproyeksikan sebagai lawatan pertama seorang presiden Prancis ke Jerman dalam 23 tahun.
- Penulis :
- Desi Wahyuni