Pantau Flash
HOME  ⁄  Internasional

Yordania Tolak Rencana Trump Relokasi Warga Gaza, Tak Gentar Lawan Ancaman

Oleh Khalied Malvino
SHARE   :

Yordania Tolak Rencana Trump Relokasi Warga Gaza, Tak Gentar Lawan Ancaman
Foto: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bertemu Raja Yordania Abdullah II di Oval Office, Gedung Putih, Selasa (11/2/2025). (Getty Images)

Pantau - Raja Yordania, Abdullah II, menegaskan akan menolak rencana Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, untuk mengambil alih Jalur Gaza dan merelokasi warga Palestina, meskipun Washington mengancam akan memotong bantuan keuangan bagi negaranya.

Baca juga: Trump Klaim Israel bakal Serahkan Gaza ke AS usai Perang Berakhir

Pertemuan Abdullah II dengan Trump berlangsung di Gedung Putih pada Selasa (11/2/2025), menjadi pertemuan pertama antara pemimpin Arab dan presiden AS sejak Trump kembali menjabat Januari 2025.

Pertemuan ini terjadi menyusul pernyataan Trump pada Senin (10/2/2025), dia mungkin akan menghentikan bantuan keuangan bagi Yordania dan Mesir jika mereka tidak bersedia menampung warga Palestina dari Gaza.

AS merupakan sekutu utama Yordania, dengan perjanjian yang ditandatangani pada September 2022, mengamanatkan bantuan tahunan sebesar US$1,45 miliar (sekitar Rp23,73 triliun) bagi Yordania dari 2023 hingga 2029.

Namun, pada Januari 2025, pemerintahan Trump memutuskan untuk membekukan seluruh bantuan luar negeri selama 90 hari untuk melakukan evaluasi ulang.

Garis Merah Yordania

Dalam artikel berjudul "Raja dan Trump: Pertemuan Bersejarah", Pemimpin Redaksi Al-Dustour, Mustafa Ryalat, menyebut kunjungan Raja Abdullah ke Washington sebagai peristiwa penting seiring meningkatnya krisis di kawasan.

Ryalat menyoroti Raja Abdullah membawa garis merah Yordania yang sudah dikenal dunia. Dia mengingat respons sang raja terhadap rumor bahwa rencana "deal of the century" Trump mencakup pemukiman warga Palestina di Yordania.

"Sebagai seorang keturunan Hashemite, bagaimana saya bisa mundur dari Yerusalem? Mustahil. Ini garis merah. Tidak untuk Yerusalem; tidak untuk tanah air alternatif, tidak untuk pemukiman kembali," tegas Raja Abdullah kala itu.

Baca juga: Tolak Ide "Gila" Trump, China: Gaza Bukan Alat Politik!

Rencana Trump pada 2020 itu memang telah ditolak secara luas oleh Palestina dan dunia Arab karena dianggap lebih menguntungkan Israel dengan mengorbankan hak-hak Palestina. Ryalat menekankan Yordania enggan mengorbankan prinsipnya demi kepentingan politik.

"Ya, tantangan ini besar. Ya, kita menghadapi isu paling berbahaya saat ini – pengusiran paksa. Tapi, sebagai bangsa, kita tidak memiliki kemewahan untuk berkompromi. Sikap kita tegas: Tidak untuk pemukiman kembali," tulisnya.

Tiga Skenario Masa Depan

Sementara itu, Pemimpin Redaksi Al-Rai, Khaled Al-Shuqran, dalam artikelnya yang berjudul "Pertemuan Raja dan Trump: Tiga Skenario Masa Depan Kawasan", menilai pertemuan ini sebagai titik balik yang dapat mengubah posisi Washington atau justru memperburuk krisis.

Menurutnya, ada tiga kemungkinan hasil dari pertemuan ini:

  1. Yordania Meyakinkan AS – Sebagai sekutu strategis, Raja Abdullah bisa membujuk Trump agar membatalkan rencana pengusiran warga Palestina dan kembali mendukung solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian.
  2. AS Tetap Keras – Washington tetap bersikeras menjalankan rencana pengusiran, baik dengan memaksa warga Gaza pindah ke negara lain atau merelokasi mereka secara internal di dalam wilayah Gaza.
  3. Kebuntuan Diplomatik – Pertemuan berakhir tanpa hasil, Israel tetap menduduki Gaza, blokade terus berlanjut, dan negosiasi damai tetap mandek.


Shuqran menilai skenario ketiga sebagai yang paling berbahaya karena dapat memicu Intifada ketiga yang lebih brutal akibat meningkatnya ekstremisme di kedua belah pihak.

Baca juga: Sekjen PBB Singgung Ide "Gila" Trump soal Pembersihan Etnis di Gaza

“Kebuntuan ini juga akan menguras sumber daya negara-negara tetangga seperti Yordania, Mesir, dan Lebanon, yang sudah terbebani oleh krisis pengungsi. Hal ini berisiko memicu ketidakstabilan sosial dan politik lebih lanjut di kawasan,” tulisnya.

Keputusan AS dalam pertemuan ini tak hanya berdampak pada Palestina, namun juga terhadap keseimbangan geopolitik regional dan strategi "perdamaian ekonomi" yang selama ini didorong oleh pemerintahan Trump.

Ancaman Pemerasan Politik

Dalam artikel berjudul "Pemotongan Bantuan AS untuk Yordania: Kami Tidak Akan Menyerah", jurnalis Awni Rjoub mengecam ancaman Trump untuk menghentikan bantuan keuangan sebagai bentuk "pemerasan politik murahan" demi memaksa Yordania menerima rencana yang telah ditolak dunia Arab.

"Trump berpikir Yordania, negara kecil tapi berdaulat, bisa dipaksa tunduk dengan ancaman finansial. Dia salah besar," tulis Rjoub.

"Yordania – rakyatnya dan rajanya – tidak akan menyerah. Kami tidak akan dipaksa, bahkan jika seluruh dunia melawan kami," tambahnya.

Manuver Diplomatik Yordania

Di harian Al-Ghad, jurnalis Nidal Mansour menyoroti pentingnya pertemuan ini dalam memperkuat posisi diplomatik Yordania di Washington.

"Ini adalah kunjungan yang kompleks dan sensitif secara politik, yang akan menunjukkan posisi strategis Yordania setelah puluhan tahun hubungan dekat dengan AS," tulisnya dalam artikel "Sebelum Raja Bertemu Trump."

Baca juga: Indonesia Kecam Rencana Relokasi Paksa Warga Palestina

Menurutnya, pertemuan ini dapat mengarah pada perubahan strategi dan aliansi demi menghadapi tantangan ke depan.

“Yang pasti, hubungan Yordania-AS sedang memasuki wilayah yang belum terpetakan di bawah kepemimpinan Trump, dan dunia sedang menunggu bagaimana hasilnya,” tulis Mansour.

Konfrontasi Berani

Sementara itu, jurnalis Mundher Al-Houarat dalam artikelnya "Yordania, Trump, dan Konfrontasi Berani" menilai bahwa Trump sudah melewati batas dan tidak peduli pada hukum internasional.

Sebagai respons, ia menyarankan agar Yordania memperkuat hubungan dengan China, Rusia, dan Uni Eropa, serta menggelar pertemuan darurat Liga Arab.

Namun, ia juga mengakui mengingat sifat Trump yang sulit ditebak, langkah diplomatik saja mungkin tidak cukup.

"Untuk membuat Trump memahami konsekuensi dari tindakannya, Yordania harus mempertimbangkan langkah tegas, seperti membekukan Perjanjian Damai Wadi Araba dengan Israel, menghentikan kerja sama militer dengan AS, dan secara tegas menolak bantuan yang bersyarat," usulnya.

Sumber: Anadolu

Penulis :
Khalied Malvino