
Pantau - Koalisi pemerintah Jepang yang dipimpin oleh Perdana Menteri Shigeru Ishiba kehilangan mayoritas di Majelis Tinggi dalam pemilu yang digelar pada Minggu, 20 Juli 2025, memicu tekanan politik terhadap kepemimpinan Ishiba yang baru beberapa bulan menjabat.
Oposisi Tolak Bergabung, Pemerintah Kehilangan Dukungan Ganda
Hasil pemilu menunjukkan bahwa Partai Demokrat Liberal (LDP) dan mitra koalisinya, Komeito, gagal mencapai target memenangkan 50 dari 125 kursi yang diperebutkan untuk mempertahankan mayoritas.
Koalisi pemerintah kini kehilangan kendali tidak hanya di Majelis Tinggi, tetapi juga di Majelis Rendah, yang memiliki kekuasaan legislatif lebih besar.
Semua partai oposisi utama menolak untuk membentuk koalisi yang diperluas dengan LDP-Komeito, menutup peluang kompromi jangka pendek di parlemen.
Dalam situasi ini, pemerintah membutuhkan dukungan oposisi untuk meloloskan berbagai kebijakan penting, termasuk anggaran negara.
Partai Demokrat Konstitusional Jepang (CDPJ) dan Partai Inovasi Jepang (JIP) secara tegas menolak bergabung dengan pemerintahan.
Yuichiro Tamaki, pemimpin Partai Demokrat untuk Rakyat (DPP), menyatakan bahwa kemungkinan bergabung dengan pemerintahan Ishiba adalah "sama sekali tidak mungkin."
DPP sendiri mengalami lonjakan kursi dari empat menjadi enam belas.
Munculnya Sanseito dan Reaksi Publik terhadap Kinerja Ishiba
LDP dinilai kehilangan sebagian dukungan dari basis konservatifnya.
Partai Sanseito, partai populis kanan dengan agenda nasionalis dan slogan "Jepang Didahulukan", muncul sebagai kekuatan baru dengan memperoleh lebih dari 10 kursi.
Ketua Sanseito, Sohei Kamiya, menyatakan terbuka untuk bekerja sama dengan LDP berdasarkan isu tertentu.
Perdana Menteri Ishiba menyampaikan bahwa partainya akan menerima hasil ini dengan rendah hati dan tetap menjalankan tanggung jawab sebagai partai penguasa.
Sekretaris Jenderal LDP, Hiroshi Moriyama, menekankan pentingnya menghindari kekosongan politik di tengah dinamika parlemen yang tidak stabil.
Publik menunjukkan kekecewaan terhadap penanganan isu-isu ekonomi seperti inflasi, stagnasi upah, serta negosiasi tarif dengan Presiden AS Donald Trump yang berjalan lambat.
Sistem dan Partisipasi Pemilu
Pemilu Majelis Tinggi kali ini melibatkan 520 kandidat.
Dari total 125 kursi yang diperebutkan, 75 dipilih dari distrik pemilihan dan 50 melalui sistem perwakilan proporsional.
Anggota Majelis Tinggi memiliki masa jabatan enam tahun, dengan setengah dari kursi diperebutkan setiap tiga tahun untuk menjaga kesinambungan parlemen.
Tingkat partisipasi pemilih tercatat sebesar 58,52 persen, naik dari 52,05 persen pada pemilu 2022.
Sebanyak 26 juta orang mencoblos lebih awal karena pemilu bertepatan dengan akhir pekan panjang tiga hari.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf