
Pantau - Kesepakatan gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat membawa ketenangan ke Provinsi Sweida, Suriah selatan, setelah delapan hari dilanda pertempuran sengit antara pejuang Druze dan militan suku Arab Sunni Bedouin.
Gencatan senjata tersebut diumumkan pada Sabtu, 19 Juli 2025, dan mulai diterapkan sepenuhnya pada Senin, 21 Juli 2025, menurut laporan sejumlah kelompok hak asasi manusia.
Bentrokan yang dimulai sejak 13 Juli 2025 itu menyebabkan lebih dari 1.120 orang tewas, termasuk warga sipil, pasukan pemerintah, dan para pejuang lokal.
Dari jumlah korban tewas, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) menyatakan bahwa setidaknya 194 orang telah dieksekusi di luar proses hukum.
Kesepakatan ini juga memicu gelombang pengungsian besar-besaran dari Sweida menuju Provinsi Daraa yang berdekatan.
Ribuan Keluarga Bedouin Melarikan Diri
Otoritas urusan sosial Suriah melaporkan bahwa sebanyak 2.068 keluarga pengungsi dari suku Arab Sunni Bedouin telah melarikan diri ke berbagai kota dan desa di Daraa.
Mayoritas dari mereka menyebutkan ketakutan akan balas dendam sektarian dan ancaman pengusiran paksa sebagai alasan utama mereka meninggalkan Sweida.
Sejumlah saksi mata mengungkapkan kepada kantor berita Xinhua bahwa para pengungsi hanya diperbolehkan meninggalkan rumah dengan pakaian yang melekat di tubuh mereka.
"Mereka mengusir kami keluar tanpa apa-apa, tanpa uang, tanpa barang-barang", ungkapnya.
Kesepakatan Tiga Pihak dan Isu Pergeseran Demografis
Kesepakatan gencatan senjata ini disebut sebagai hasil negosiasi antara Suriah dan Israel dengan mediasi dari Amerika Serikat.
Dalam kesepakatan tersebut disepakati penarikan seluruh pejuang suku bersenjata dan pasukan keamanan pemerintah dari wilayah Sweida.
Selain itu, kesepakatan juga mencakup pembentukan misi pencari fakta yang dipimpin Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelidiki kekerasan terbaru.
Termasuk juga pengiriman bantuan kemanusiaan dan rencana pertukaran tahanan dalam waktu dekat.
Meski pertempuran mereda, kekhawatiran tetap muncul terkait dampak jangka panjang dari eksodus pengungsi.
Direktur SOHR, Rami Abdulrahman, menyebut bahwa situasi ini merupakan "pergeseran demografis", dan mengingatkan pada pola pengungsian dalam konflik sebelumnya di Suriah.
Ia mendesak pemerintah Damaskus untuk mempublikasikan syarat dan ketentuan lengkap dari kesepakatan tersebut.
Kini perhatian dunia internasional tertuju pada nasib para pengungsi: apakah mereka akan diizinkan kembali, dan apakah perdamaian dapat dipertahankan di tengah ketegangan sektarian yang terus membayangi.
- Penulis :
- Leon Weldrick