
Pantau - Habitat orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) di Batangtoru, Sumatra Utara, kini hanya tersisa sekitar 2,5 persen, memicu peningkatan konflik antara manusia dan satwa langka tersebut.
Populasi Terancam, Habitat Terfragmentasi
Orangutan tapanuli merupakan spesies orangutan tertua dan endemik Indonesia, berbeda dengan Pongo pygmaeus (Kalimantan) dan Pongo abelii (Sumatra).
Populasinya diperkirakan hanya tersisa 577 hingga 760 ekor yang tersebar di tiga blok hutan seluas 138.435 hektare di kawasan Batangtoru.
Penurunan populasi ini disebabkan oleh fragmentasi habitat yang parah akibat konversi hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pembangunan infrastruktur.
Luas hutan di Sumatra sendiri telah menyusut drastis dari 25,3 juta hektare pada 1985 menjadi hanya 10,4 juta hektare pada 2016.
Ketersediaan pakan alami seperti ara (Ficus subulata) dan dadak (Artocarpus lacucha) juga menurun tajam.
Orangutan tapanuli memiliki ruang jelajah yang luas, yakni 1.500 hektare untuk betina dan 5.000 hektare untuk jantan, serta memiliki sifat filopatri, yaitu kembali ke tempat kelahirannya.
Sebagai penyebar biji, orangutan memiliki peran penting dalam menjaga regenerasi hutan dan keseimbangan ekosistem.
Namun, intensitas konflik manusia-orangutan terus meningkat karena sebagian besar orangutan kini hidup di luar kawasan konservasi, sementara pembangunan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan.
Pertumbuhan populasi manusia, pembangunan infrastruktur, dan aktivitas ekonomi berbasis lahan turut memicu konflik tersebut.
Dampaknya meliputi kerusakan tanaman, ternak, rumah warga, bahkan menyebabkan korban jiwa di kedua pihak.
Selain itu, konflik juga mengakibatkan penurunan hasil pertanian, penyebaran penyakit, kerugian materi, hingga tekanan sosial yang berkepanjangan.
Diperlukan Solusi Ekologis dan Pendekatan Koeksistensi
Akibat konflik berulang, sebagian petani mulai menganggap orangutan sebagai hama.
Survei Yapeka–UNESCO tahun 2010 mencatat bahwa 68,3 persen petani melihat orangutan sebagai hama, dan riset oleh Valerie Marchal dan Catherine Hill (2009) menunjukkan angka 51,2 persen.
Orangutan kerap dianggap “mencuri” buah-buahan seperti durian, petai, jengkol, dan mangga, serta memakan umbut sawit, kambium akasia, eukaliptus, dan karet karena kelangkaan makanan di hutan.
Edy Hendras Wahyono dari Orangutan Foundation International menegaskan bahwa perilaku tersebut adalah konsekuensi logis dari menyusutnya habitat.
Solusi untuk mengurangi konflik menurut Onrizal adalah dengan merestorasi ekosistem melalui penanaman kembali pohon-pohon pakan khas seperti temayang dan bendo.
Wanda dari BRIN menyarankan mitigasi berbasis ekologi melalui perlindungan ekosistem, pengembangan koridor satwa, dan pengurangan degradasi di lahan HGU.
Pengembangan ekonomi alternatif seperti ekowisata, perikanan, jasa, skema karbon, perhutanan sosial, dan insentif konservasi juga dinilai penting.
Upaya lainnya termasuk pendidikan konservasi, pelatihan pengelolaan lahan berkelanjutan, serta mengubah persepsi masyarakat bahwa orangutan adalah petani hutan, bukan hama.
Revitalisasi kearifan lokal dan budaya, khususnya dengan melibatkan generasi muda, menjadi bagian penting dalam pencegahan konflik berkelanjutan.
Penguatan kebijakan diperlukan, salah satunya melalui Keputusan Gubernur Sumatra Utara No. 188.44/156/KPTS/2025 yang menetapkan pengelolaan ekosistem Batangtoru secara strategis dan kolaboratif.
Keputusan ini mencakup perlindungan dan pengelolaan berkelanjutan, kolaborasi multipihak, integrasi dalam RTRW dan RPJMD, serta pengembangan agroforestri ramah satwa.
Pendekatan Conflict to Coexistence (C2C) yang diperkenalkan WWF menjadi kunci dalam mendorong koeksistensi manusia dengan orangutan.
C2C bukan bertujuan menghilangkan konflik, melainkan mengelolanya agar tercipta kehidupan berdampingan yang harmonis.
Dolly Priatna menjelaskan bahwa pendekatan ini menghasilkan empat hal utama: keberlangsungan satwa, pelestarian habitat, kehidupan berdampingan, dan keberlanjutan mata pencaharian.
Prinsip utama C2C meliputi toleransi, tanggung jawab bersama, ketahanan, dan pendekatan holistik.
Kondisi pendukungnya mencakup pelestarian habitat, penggunaan lahan berkelanjutan, keterlibatan masyarakat, pendidikan, penegakan hukum, riset, dan pertimbangan budaya.
Wanda menegaskan bahwa pemenuhan aspek ekonomi, sosial, dan budaya harus setara dengan kepentingan ekologis.
Manusia harus menyadari bahwa mereka berbagi ruang hidup dengan satwa liar, dan mulai mengembangkan manfaat ekonomi dari keberadaan orangutan.
Pemerintah juga didorong untuk memasukkan konservasi sebagai prioritas dalam perencanaan ruang dan pembangunan, serta menindak tegas kejahatan kehutanan dan satwa.
Dolly menyatakan bahwa pendekatan ini mendukung pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, sosial, infrastruktur, dan lingkungan.
Onrizal menyimpulkan, "Pakan itu jembatan menuju koeksistensi. Saat pakan tersedia, konflik mereda. Saat hutan terjaga, koeksistensi tercipta."
- Penulis :
- Ahmad Yusuf