
Pantau - Menjadi seorang Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah perkara yang mudah. Ada berbagai tantangan besar yang harus dihadapi untuk mencapai cita-cita tersebut. Selain tes fisik yang ketat, para calon juga harus melewati serangkaian tes lainnya, seperti tes kesehatan, tes psikologi, serta ujian-ujian lainnya yang dirancang untuk mengukur kesiapan mereka dalam menjalani karier di militer.
Untuk bisa lulus dan dilantik sebagai prajurit TNI, seorang taruna harus menjalani pendidikan intensif selama empat tahun. Proses pendidikan ini tidak hanya bertujuan untuk mengasah keterampilan fisik, tetapi juga untuk membentuk mental yang tangguh dan ketahanan fisik yang prima. Dalam kurun waktu tersebut, para taruna dipersiapkan dengan berbagai pelatihan yang menguji ketangguhan tubuh dan karakter, sehingga mereka dapat menjadi tentara yang profesional, disiplin, dan siap menghadapi berbagai tantangan dalam tugas-tugas mereka.
Membahas soal pendidikan, tim pantau.com berkesempatan untuk mewawancarai seorang taruna Akademi Angkatan Laut (AAL) bernama Agung Aden Nafarin Tawainella dan dan seorang taruna Akademi Militer (AKMIL) bernama Muhammad Manggih Pangestu yang saat ini keduanya masih menjalani pendidikan.
Baca juga: Ma’ruf Amin Turut Berjasa dalam Pembangunan Kekuatan TNI AL
Aden dan Manggih menceritakan pengalamannya yang tentunya berbeda-beda selama beberapa tahun belakangan. Masing-masing dari mereka memiliki perjalanan yang penuh dengan lika-liku, tantangan, dan pencapaian yang membentuk mereka menjadi sosok yang berbeda dari sebelumnya.
"Alasan bergabung untuk mengabdikan diri kepada Negara lewat pendaftaran TNI AD khususnya Akademi Militer yaitu melanjutkan perjuangan para pahlawan dan senior terdahulu dalam memajukan instansi TNI AD dimasa mendatang," jelas Manggih saat ditanya tentang motivasi untuk bergabung dengan AKMIL.
Di sisi lain, Aden ingin melanjutkan profesi sang ayah sehingga termotivasi untuk menjadi tentara sejak masih taman-kanak-kanak, "Sebenarnya faktor utama dari orang tua, apa lagi figur bapak juga. Bapak juga kebetulan Angkatan Laut, sebenarnya bukan lulusan dari Akademi tapi dia juga Angkatan Laut. Kebetulan juga kedua kakek ku juga kebetulan Angkatan Laut juga, jadi ya emang keluarga besar Angkatan Laut. Tapi emang dari kecil ditanya dari aku tk juga ditanya cita-cita mu apa, aku selalu jawab tentara," ujar Aden.
Baca juga: TNI AL Siapkan 120 Prajurit untuk Misi Perdamaian UNIFIL di Lebanon Tahun 2025
Selain itu, Aden menjelaskan bahwa keputusan untuk memasuki Angkatan Laut juga dipengaruhi oleh faktor keluarga besar. Sejak kecil, ia sudah terbiasa mendengar cerita-cerita dan pengalaman dari anggota keluarga yang pernah atau masih aktif di AL. Hal ini membuatnya semakin tertarik dan termotivasi untuk mengenal lebih dalam tentang dunia militer, khususnya Angkatan Laut. Pengaruh positif dari keluarga besar-lah yang mendukung penuh keputusannya, memberikan wawasan lebih luas mengenai tantangan, tanggung jawab, dan kehormatan yang datang bersama profesi ini. Dengan latar belakang tersebut, Aden merasa lebih yakin dan mantap dalam menjalani proses seleksi dan pendidikan yang harus ditempuh untuk menjadi bagian dari Angkatan Laut.
"Sebenarnya pengen tentara, tapi di yang lain tapi karena ya itu, keluarga besar Angkatan Laut, jadi itu aja pilihannya. Sebenarnya gak terlalu tertarik kayak masih belum mendalami banget lah, tapi makin lama juga mengetahui tentang Angkatan Laut dan mulai, kemarin ada yang namanya kita latihan nyelam itu aku mulai dapet feelingnya itu," lanjutnya.
Suatu profesi tentunya memiliki tantangan tersendiri, termasuk menjadi seorang taruna. Menjadi seorang taruna bukan hanya sekadar menjalani pendidikan atau pelatihan fisik, tetapi juga menghadapi serangkaian ujian yang menguji ketahanan mental, fisik, dan karakter. Aden dan Manggih juga memberikan pendapat masing-masing terkait hal tersebut.
Baca juga: Prajurit TNI UNIFIL Selamat dari Insiden Rekoset di Lebanon, Kondisi Stabil
"Tantangan terbesar keinginan untuk hidup bebas seperti remaja lain pada umumnya, rendahnya moril dan lelahnya fisik" kata Manggih.
Dia juga menjelaskan bahwa banyaknya saingan yang menurutnya kuat dan berpotensi lulus menjadi tantangan terbesarnya saat menjalani tes masuk.
"Tantangan terbesar yaitu saingan yang begitu banyak dan saingan yang kuat dan berpotensi lulus," sambungnya.
Sementara itu, Aden menjelaskan bahwa hal yang yang menjadi tantangan terbesarnya adalah melawan rasa takut kepada para senior di lingkup yang sama.
"Yaa tantangan terbesarnya kan kebetulan kan kalo misal di Akademi Angkatan Laut ini kita kan kehidupan senior junior digabung, jadi kita satu kamar dengan senior. Kita lebih sering ketemu senior dari pada pengasuh gitu, semua kegiatan dengan senior. Tantangan terbesarnya disitu, kita harus ngelawan rasa takut terhadap senior itu." jelas Aden.
Baca juga: 79 Tahun TNI, Transisi Kepemimpinan dan Tekad untuk Indonesia Emas
Aden juga menjelaskan bahwa dia masuk kedalam Korps Elektronika, dia mengatakan, “Kalo di Akademi Angkatan Laut sendiri kan kita nanti waktu masuk terus kita mulai masuk ke matra masing-masing ke AL nya itu nanti kita dipendidikan pertama itu kita berapa bulan setelah masuk nnti kita ada pemilihan korps (satuan) nah abis itu dengan psikologi, terus ada tes-tes yang di jalani, nanti kita di berikan korps - korps yang sesuai dengan psikologi kita sendiri dan kebetulan saya udah dapet dan udah memiliki korps saya ya itu Elektronika.”
Terkait apa aja tugas Korps Elektronika, dia menjelaskan bahwa tugasnya berkaitan dengan peralatan kapal dan satuan.
"Elektronika kaya kalo misal di SMA tuh kaya fisika kimia lah, nah tapi kalo di Angkatan Laut sendiri elektronika kita tuh lebih ke peralatan - peralatan kapal. Jadi kaya misal kita ada kerusakan kapal kita yang melingkup elektro loh ya, kaya misal kerusakan monitor atau misalnya ada kerusakan diradarnya kita yang perbaikin," jelasnya.
Aden juga menceritakan pengalamannya yang paling berkesan selama menjadi seorang taruna, “Kalo misalnya kehidupan sebagai taruna ya, pengalaman nya pasti senior junior dan juga temen-temen sekitar lah, kaya misalkan kita nih benar-benar dimasa-masanya junior kan, kita ngerasain yang namanya sakit bersama dan itu yang ngebuat pengalaman yang benar-benar oh ini kehidupan tentara tuh kaya gini apa lagi di Angkatan Laut itu rasanya. Jadi sebenarnya kita ga bisa, gak selamanya bisa kita ambil enaknya tapi kita juga bisa ambil positifnya yaitu kebersamaan dan juga nanti di saat kita udah melewati sakitnya itu nanti. Di saat kita udah jadi senior kita ngerasain ohh dulu kita kaya gini yaa itu menjadi cerita gitu.”
Baca juga: HUT ke-79 TNI di Monas Hari Ini: Parade, Atraksi Trimatra, hingga Pameran Alusista
Kehangatan dan kebersamaan selama menjalani pendidikan adalah hal yang paling berkesan untuk Aden, “Benar-benar erat banget apa lagi teman-teman saya yang benar satu perjuangan yang benar-benar kaya bareng-bareng sakitnya, wahh jadi berkesan banget sih.”
Selanjutnya, terkait cara beradaptasi dengan kehidupan sebagai taruna selama menjalani pendidikan, keduanya memiliki pendapat yang berbeda.
Cara Manggih beradaptasi yaitu dengan bersosialisasi dengan para taruna lainnya tanpa memandang bulu dan saling memberikan support, juga mencari hiburan sendiri ataupun bersama taruna lainnya.
"Berbaur dengan semua taruna tanpa memandang suku ras dan budaya, saling menguatkan dengan memberi support dan semangat sesama Taruna. Mencari hiburan sendiri atau bersama taruna lainnya, apapun yang bisa menjadi hiburan," terang Manggih.
Aden juga menerangkan caranya beradaptasi, dia menjelaskan, “Pertama kalo misal emang, namanya juga kehidupan militer ya pastinya berat dan kita juga sebenanrya dari awal kita masuk itu yang awalnya kita daftar itu harus yang benar-benar memantapkan diri gitu loh kalo benar-benar mau join kehidupan militer, kenapa? Karena kehidupan militer dengan banyak aturan, banyaknya tugas, juga banyak sakitnya bahkan juga kita harus rela meninggalkan kehidupan sipil dimana kita juga bisa bermanja-manja, enak-enakan. Nah, jadi itu tips awalnya kita harus benar-benar memantapkan diri, tapi disaat kita udah masuk kita mulai ngerasain sakit, gimana sih kejamnya senior segala macam tentu kita harus yaudahlah balik ke inti awal kenapa kamu masuk, terus yang pasti dorongan-dorongan orang tua sih kaya orang tua udah sampai sini udah bangga banget masa mau kita kecewakan cuma ga bisa beradaptasi gitu, lho.”
Baca juga: Serunya Warga Ikut Pawai Alutsista saat HUT ke-79 TNI
Dia juga menjelaskan persiapannya sebelum masuk kedalam pendidikan Akademi Angkatan Laut (AAL), “Persiapkan diri sih engga sih ya, tapi saya udah kebetulan juga saya waktu SMP SMA, kebetulan atlet basket jadi fisik mulai bisa jadi. Selebihnya paling juga dibantu didukung, kebetulan saya persiapan cuma di tahun 2021, 3 bulan sebelum pendaftaran saya mulai fisik gitu mulai pelatihan psikologi cuma bantuan orang tua di situ aja si sisanya kita jalan dari kaki kita sendiri.”
Lebih lanjut, keduanya memberikan tips bagi mereka yang bercita-cita untuk masuk Akademi Angkatan Laut (AAL) dan Akademi Militer (AKMIL). Manggih menyampaikan bahwa salah satu kunci utamanya adalah memiliki dedikasi yang tinggi, keinginan yang kuat, serta semangat juang yang tidak pernah pudar.
“Punya keinginan tinggi dan dedikasinya setinggi keinginan itu, punya semangat berjuang akan seleksi, punya potensi, yakin pada diri sendiri, serahkan sisanya kepada Tuhan.”
Sementara itu, Aden menjawab, “Mau masuk ke Akademi AL, ya sebetulnya fisik, psikolog dan akademik pasti perlu ya. Kita harus memantapkan diri jadi kita tau nih pengen akademik, masuk akademi, menjadi taruna, terus kalo kita sekedar ingin ajakan ga mungkin, jadi kita harus ada tekad yang kuat dan saya dulu lulusan SMA kan 2020 dan saya gak langsung daftar itu. Saya memilih untuk rehat dulu di saat tahun 2021 karena jaman nya covid, berat badan saya naik drastis 10kg yang awalnya dari 67kg mejadi 77kg. Wah itu gemuk parah, saya gak pernah lari, gak pernah latihan fisik segala macem dan fisik saya ancur itu dan juga badan saya gemuk. Akhirnya saya mulai latihan 3 bulan sebelumkan daftar, akhirnya di sini gak boleh males-malesan akhirnya selama 3 bulan itu saya benar-benar tiap hari binsik pokonya Senin sampai Sabtu Binsik (Bimbingan Fisik) dan Minggu libur. Terus pola makan saya yang biasanya sembarangan saya ubah jadi misalkan nasinya pake nasi merah makannya cuma waktu siang dengan jam 6 sore, sisanya puasa udah akhirnya fisik saya terbangun.”
Baca juga: Pimpin HUT ke-79 TNI, Jokowi Naiki Maung Pindad
Seperti remaja pada umumnya, sebelumnya Aden juga masih asik bergaul dan tidak mengetahui apa-apa soal kehidupan taruna. Dia juga menyukai basket dan berpikir untuk menjadi atlet basket tapi setelah berpikir matang, barulah disitu dia mencoba untuk menjalani kehidupan militer.
"Sebelumnya saya gak tau kehidupan taruna, atau akademi Angkatan Laut atau AKMIL itu. Saya ga tau, saya cuma berpikir saya dengan asik nya kehidupan pergaulan dan basket ya tapi saya pernah berpikir untuk jadi atlet basket aja, masuk kampus terus mau lanjutin basket, tapi orang tua yaudah pikir baik- baik memilih kehidupan yang enak semata aja atau kamu memiliki kehidupan yang sengsara tapi bisa membangun masa depanmu. Udah akhirnya saya yaudah lah kita coba dan di situ saya mulai wah ada yang cuma 4 tahun tapi sudah jadi perwira dan akhirnya saya coba," jelasnya.
Saat ditanya terkait karir dan pencapaian dalam 5-10 tahun kedepan, Manggih menjawab, “Ingin berkarir sesuai dengan rejeki dan takdirnya masing-masing, tidak terlalu memaksakan tapi juga tidak tergerus dengan keadaan, keluar dari zona nyaman. Yang ingin dicapai menjadi pemimpin TNI AD yang diharapkan bangsa, amanah dan dapat dipercaya dan berguna bagi agama bangsa dan negara.”
Baca juga: TNI dan Polri Berikan Bantuan 1.000 Paket Sembako di Nduga untuk Peringatan HUT ke-79 TNI
Sedangkan Aden menjawab, “Kalo misal dalam lingkup Angkatan Laut kalo namanya berkarir cuma karirnya itu-itu aja kali ya, dan itu jalan terus kalo misal mau pencapaian yang besar untuk saat ini juga susah kan. Setelah selesai yang elektronika ini saya mau coba masuk setelah lulus satuan intel, saya pengen lepas-lah dari kehidupan kapal, saya pengen jadi intel yang dimana masuk nya ke lanal-lanal (Pangkalan Angkatan Laut ) gitu.”
Aden adalah Seorang Pemain Basket Sebelum Menjadi Taruna AAL
Sebelum memulai pelatihan militer di Akademi Angkatan Laut (AAL), pria kelahiran 2002 ini merupakan seorang remaja yang sangat menyukai basket. Minatnya terhadap olahraga ini sudah dimulai sejak ia duduk di bangku SMP, dan hingga saat ini, kecintaannya terhadap basket masih tetap ada. Bahkan, pada suatu waktu, ia sempat berpikir untuk mengejar karier sebagai atlet basket. Namun, seiring berjalannya waktu dan pemikiran yang lebih matang, ia kembali merujuk pada cita-cita awalnya—yaitu menjadi seorang tentara. Meskipun cinta pada basket masih melekat dalam dirinya, pilihan untuk mengabdikan diri di dunia militer akhirnya menjadi keputusan yang lebih kuat dan menginspirasi bagi masa depannya.
“Jadi, kan awalnya tuh gatau tentang basket ya. Sukanya main bola, terus masuk SMP, bingung mau masuk estrakulikuler mana. Temen-temen juga futsal, tapi futsal saya kurang suka dan juga ga seru. Akhirnya basket lah, dan itu cuma berlangsung beberapa lama, karena kebetulan temen mengenalkan bulu tangkis. Yaudah akhirnya sempetlah pindah ke bulu tangkis, sekitar kurang lebih 6 bulan dan udah ikut kejuaraan juga cuman ga menang. Waktu saya udah masuk kelas 2 SMP, semester terakhir itu mau naik kelas 3. Saya nyoba lagi lah basket ini, beda gitu feelnya kayak ngerasa basket nih setiap point yang bisa kita masukin tuh buat nagih. Nah disitu, buat saya kayak, yaudahlah basket aja. Yaudah akhirnya sampe SMA.”
Dirinya diketahui sudah menggeluti olahraga tersebut selama empat tahun, “Udah 4 tahunlah, sampai sekarang juga masih. Cuma ikut kejuaraan sampai SMA doang.”
Baca juga: Rakyat Tumpah Ruah di Monas Rayakan HUT ke-79 TNI
Selama di AAL, ia masih aktif bertanding basket dengan taruna lain dan bersama kampus-kampus, “Kalau sparing-sparing ya seringlah, di AL. Paling sparing-sparing biasa. Paling sparing sama Universitas mana gitu, Surabaya.”
“Kalau lomba kemana aja tuh, cuma sekitaran Banjarmasin aja. Saya dari kelas 2 SMA, 2 SMA awal itu baru mulai ke pertandingan-pertandingan. Kebetulan kan, SMA saya ini termasuk basketnya yang termasuk bener-bener favorit banget dan saya juga bentuk fundamental dari yang SMP yang bener-bener buruk basketnya, sampe masuk SMA basket yang terbaik, jadi saya cuma latihan yang tekun apa yang kurang saya tambahin kan. Akhirnya alhamdulillah di kelas 2 SMA saya mulai tuh ikut ke pertandingan. Karena kan kebetulan kan, SMA saya karena hebat basketnya tuh ngebuat adanya senioritas dibasket itu. Akhirnya pas 2 SMA saya mulai, timnya tim B dan itu kebetulan juga satu angkatan saya juga yang mulai mainkan. Mulai mulai, ya juara 3, juara 2. Udah mulai puncaknya tuh di DBL, saya mau naik kelas 3 mulai ikut DBL, kelas 3 awal. Kalau misalkan pertandingan luar-luar tuh ga pernah, isinya cuma Banjarmasin aja, seputar pertandingan daerah, kayak pertandingan sekolah dalam rangka ulang tahun sekolah.”
Lebih lanjut, dia juga menceritakan jika dirinya sangat rawan untuk cedera dan setelahnnya akan melakukan rehat dulu dari basket.
“Saya kebetulan orang yang paling rawan cedera, sering banget cedera. Dari yang ankle kaki kanan sama kiri udah sering, dislokasi jari udah pernah, dislokasi bahu udah pernah.”
Baca juga: HUT ke-79 TNI: Sejarah hingga Pesta Rakyat di Monas
Pertandingan DBL menjadi momen yang sangat berkesan baginya, karena selain disaksikan oleh orang tua tercinta, pertandingan tersebut juga terjadi pada masa di mana ia tengah merasakan pengalaman cinta monyet. Suasana tersebut membuat momen itu semakin istimewa lantaran bisa merasakan kebahagiaan dan dukungan dari keluarga, sekaligus berada dalam fase kehidupan yang penuh dengan kenangan manis.
“DBL itu bener-bener berkesan sih, karena ditonton orang banyak, ditonton orang tua. Kebetulankan waktu sma dulu ada yang namanya cinta monyet, mantan saya juga ada yang nonton. Kayak seru-seruan lah. Apalagi dulu SMA saya masuk final. Masuk final akhirnya juara 2.”
Laporan : Siti Nazwa Aprillia, Gita Andini, dan Nadiya Eva Amalia
- Penulis :
- Latisha Asharani