
Pantau - Sejarah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke tanah suci telah berlangsung semenjak berabad-abad silam. Jalur maritim Kepulauan Nusantara, Teluk Persia, dan Laut Merah telah dikenal sejak dahulu kala.
Jemaah haji Indonesia di masa lalu pada umumnya orang-orang yang sangat sederhana dan tidak banyak tuntutan. Ketika mau berangkat haji yang terbayang oleh mereka ialah pengorbanan tenaga, pikiran, dan harta benda.
Bagaimanakah sejarah perjalanan ibadah haji di Indonesia? Berikut ulasan selengkapnya:
Perbaikan perjalanan haji pertama kali diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia melalui Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh KH M. Sudja pada 1921.
Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Minangkabau tahun 1930 merekomendasikan agar mengadakan pelayaran sendiri untuk pengangkutan jemaah haji Indonesia.
Selama masa pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, tidak ada kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Kendala utamanya adalah tidak ada sarana transportasi massal dan faktor keamanan dalam perjalanan.
Kala itu, rakyat Indonesia sedang berjihad melawan Belanda yang hendak kembali menjajah tanah air Indonesia. Pendiri PBNU, KH Hasyim Asy’ari sempat mengeluarkan fatwa tidak wajib haji bagi orang Indonesia saat itu.
Penghentian perjalanan haji sekaligus sebagai boikot terhadap Belanda yang saat itu menguasai armada pelayaran yang digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji.
Pada musim haji tahun 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, pemerintah memberangkatkan jemaah haji menggunakan sarana transportasi kapal laut dengan kuota sebanyak 10.000 jemaah, sementara yang terisi kurang lebih 9.907 jemaah haji.
Kala itu, Menteri Agama Wahid Hasyim melepas secara langsung para jemaah haji yang berangkat dengan kapal laut bernama Tarakan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Perjalanan haji dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Pelabuhan Jeddah memakan waktu selama 16 hari atau 32 hari pulang-pergi, 48 hari di Mekkah, dan 8 hari di Madinah, sehingga totalnya selama 3 bulan.
Wahid Hasyim juga melakukan perbaikan dalam urusan perjalanan ibadah haji, yakni dengan membentuk Bagian Urusan Haji dan bekerja sama dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) sebagai lembaga yang mengurus masalah haji.
Sesuai kebutuhan pelayanan haji, Yayasan PHI membangun gedung-gedung wisma yang difungsikan untuk asrama haji di beberapa kota. Di masa itu, Kementerian Agama belum memiliki Asrama Haji seperti saat ini.
Transportasi haji dengan pesawat udara dimulai pada 1953, meski masih lebih banyak jemaah haji menggunakan kapal laut. Melalui jalur udara, waktu perjalanan ibadah haji dapat dipangkas menjadi hanya sekitar 40 hari saja.
Sumber: Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kemenag RI, Muhammad Fuad Nasar.
Jemaah haji Indonesia di masa lalu pada umumnya orang-orang yang sangat sederhana dan tidak banyak tuntutan. Ketika mau berangkat haji yang terbayang oleh mereka ialah pengorbanan tenaga, pikiran, dan harta benda.
Bagaimanakah sejarah perjalanan ibadah haji di Indonesia? Berikut ulasan selengkapnya:
Masa sebelum dan revolusi kemerdekaan
Perbaikan perjalanan haji pertama kali diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia melalui Muhammadiyah. KH Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji yang diketuai oleh KH M. Sudja pada 1921.
Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Minangkabau tahun 1930 merekomendasikan agar mengadakan pelayaran sendiri untuk pengangkutan jemaah haji Indonesia.
Selama masa pendudukan Jepang dan masa revolusi kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, tidak ada kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Kendala utamanya adalah tidak ada sarana transportasi massal dan faktor keamanan dalam perjalanan.
Kala itu, rakyat Indonesia sedang berjihad melawan Belanda yang hendak kembali menjajah tanah air Indonesia. Pendiri PBNU, KH Hasyim Asy’ari sempat mengeluarkan fatwa tidak wajib haji bagi orang Indonesia saat itu.
Penghentian perjalanan haji sekaligus sebagai boikot terhadap Belanda yang saat itu menguasai armada pelayaran yang digunakan untuk mengangkut calon jemaah haji.
Masa setelah pengakuan kedaulatan Indonesia
Pada musim haji tahun 1950 atau setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, pemerintah memberangkatkan jemaah haji menggunakan sarana transportasi kapal laut dengan kuota sebanyak 10.000 jemaah, sementara yang terisi kurang lebih 9.907 jemaah haji.
Kala itu, Menteri Agama Wahid Hasyim melepas secara langsung para jemaah haji yang berangkat dengan kapal laut bernama Tarakan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Perjalanan haji dengan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Priok menuju Pelabuhan Jeddah memakan waktu selama 16 hari atau 32 hari pulang-pergi, 48 hari di Mekkah, dan 8 hari di Madinah, sehingga totalnya selama 3 bulan.
Wahid Hasyim juga melakukan perbaikan dalam urusan perjalanan ibadah haji, yakni dengan membentuk Bagian Urusan Haji dan bekerja sama dengan Yayasan Perjalanan Haji Indonesia (PHI) sebagai lembaga yang mengurus masalah haji.
Sesuai kebutuhan pelayanan haji, Yayasan PHI membangun gedung-gedung wisma yang difungsikan untuk asrama haji di beberapa kota. Di masa itu, Kementerian Agama belum memiliki Asrama Haji seperti saat ini.
Transportasi haji dengan pesawat udara dimulai pada 1953, meski masih lebih banyak jemaah haji menggunakan kapal laut. Melalui jalur udara, waktu perjalanan ibadah haji dapat dipangkas menjadi hanya sekitar 40 hari saja.
Sumber: Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kemenag RI, Muhammad Fuad Nasar.
- Penulis :
- Aditya Andreas










