
Pantau - Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama meminta kepada tenaga kesehatan tidak mogok kerja dengan disahkannya UU Kesehatan.
“Lebih baik kita saling rangkulan bersama dan konstrukstif bersama untuk regulasi teknis agar benar implementatif UUnya dengan baik. Tidak usah mogok para nakes,” kata Ngabila saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Menurut Ngabila, pihaknya tidak setuju apabila mogok, karena pelayanan kepada masyarakat adalah yang utama. Krn bertentangan dengan no 1 dan 7 sumpah hipokrates.
“Jadi jangan jadi pahlawan kesiangan dan ketinggalan kereta. RUU kesehatan ini sudah aktif dibahas luas sejak Maret 2023 saat proses hearing,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Biro Hukum IDI Tangerang Selatan, Panji Utomo menyoroti salah satu poin dalam RUU Kesehatan yang dinilai hanya menguntungkan nakes asing.
“Memberikan privilage khusus untuk dokter asing, kemudahan mereka praktik di sini. Sementara orang kita, untuk praktik aja prosedurnya cukup panjang,” ucapnya ditemui di depan Gedung DPR RI.
Panji menilai, RUU Kesehatan ini berbau politis karena memfasilitasi dokter asing untuk membuka praktik secara masif.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI, Mohammad Adib Khumaidi mengapresiasi upaya Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) yang mengajukan petisi permohonan penundaan RUU Kesehatan kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Adib mengatakan, ada sejumlah catatan kritis yang dilakukan PB IDI terhadap RUU Kesehatan tersebut. Pertama, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memenuhi asas krusial, yaitu asas keterbukaan partisipatif, kejelasan landasan pembentukan, dan kejelasan rumusan.
Kedua, PB IDI menilai tidak ada urgensi kegentingan mendesak atas pengesahan RUU Kesehatan. Sehingga, UU yang masih berlaku tidak perlu diubah.
“Dalam 9 UU Kesehatan yang ada saat ini masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya kontradiksi antar satu sama lain,” ucapnya.
Pengambilan keputusan, Ketua DPR RI Puan Maharani membacakan hasil rapat pleno Panja RUU Kesehatan di Komisi IX DPR RI.
Ia memaparkan, dalam hasil rapat pleno tersebut, ada enam fraksi yang menyetujui pengesahan RUU Kesehatan, yakni fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP.
“Sementara itu, fraksi Partai NasDem menyatakan setuju dengan catatan. Dua fraksi lainnya, yakni Demokrat dan PKS menyatakan menolak,” ujar Puan.
Setelah itu, Puan menanyakan tentang pengambilan keputusan terkait RUU Kesehatan untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
“Setelah mendengarkan fraksi Partai Demokrat dan PKS. Selanjutnya, kami akan menanyakan kepada fraksi lainnya, apakah RUU Kesehatan ini dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” tanya Puan.
“Setuju,” sahut para anggota.
Puan pun mengetok palu menandakan RUU Kesehatan telah disahkan menjadi UU. Tok!
“Lebih baik kita saling rangkulan bersama dan konstrukstif bersama untuk regulasi teknis agar benar implementatif UUnya dengan baik. Tidak usah mogok para nakes,” kata Ngabila saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Menurut Ngabila, pihaknya tidak setuju apabila mogok, karena pelayanan kepada masyarakat adalah yang utama. Krn bertentangan dengan no 1 dan 7 sumpah hipokrates.
“Jadi jangan jadi pahlawan kesiangan dan ketinggalan kereta. RUU kesehatan ini sudah aktif dibahas luas sejak Maret 2023 saat proses hearing,” tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Biro Hukum IDI Tangerang Selatan, Panji Utomo menyoroti salah satu poin dalam RUU Kesehatan yang dinilai hanya menguntungkan nakes asing.
“Memberikan privilage khusus untuk dokter asing, kemudahan mereka praktik di sini. Sementara orang kita, untuk praktik aja prosedurnya cukup panjang,” ucapnya ditemui di depan Gedung DPR RI.
Panji menilai, RUU Kesehatan ini berbau politis karena memfasilitasi dokter asing untuk membuka praktik secara masif.
Sementara itu, Ketua Umum PB IDI, Mohammad Adib Khumaidi mengapresiasi upaya Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) yang mengajukan petisi permohonan penundaan RUU Kesehatan kepada Presiden Jokowi dan Ketua DPR RI Puan Maharani.
Adib mengatakan, ada sejumlah catatan kritis yang dilakukan PB IDI terhadap RUU Kesehatan tersebut. Pertama, penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memenuhi asas krusial, yaitu asas keterbukaan partisipatif, kejelasan landasan pembentukan, dan kejelasan rumusan.
Kedua, PB IDI menilai tidak ada urgensi kegentingan mendesak atas pengesahan RUU Kesehatan. Sehingga, UU yang masih berlaku tidak perlu diubah.
“Dalam 9 UU Kesehatan yang ada saat ini masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya kontradiksi antar satu sama lain,” ucapnya.
Pengambilan keputusan, Ketua DPR RI Puan Maharani membacakan hasil rapat pleno Panja RUU Kesehatan di Komisi IX DPR RI.
Ia memaparkan, dalam hasil rapat pleno tersebut, ada enam fraksi yang menyetujui pengesahan RUU Kesehatan, yakni fraksi PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN, dan PPP.
“Sementara itu, fraksi Partai NasDem menyatakan setuju dengan catatan. Dua fraksi lainnya, yakni Demokrat dan PKS menyatakan menolak,” ujar Puan.
Setelah itu, Puan menanyakan tentang pengambilan keputusan terkait RUU Kesehatan untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
“Setelah mendengarkan fraksi Partai Demokrat dan PKS. Selanjutnya, kami akan menanyakan kepada fraksi lainnya, apakah RUU Kesehatan ini dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang?” tanya Puan.
“Setuju,” sahut para anggota.
Puan pun mengetok palu menandakan RUU Kesehatan telah disahkan menjadi UU. Tok!
#Ngabila Salama#Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta#UU Kesehatan#Ketua Umum PB IDI#Mohammad Adib Khumaidi
- Penulis :
- Yohanes Abimanyu