
Pantau - World Mosquito Program (WMP) mengungkapkan penyebab gagalnya program nyamuk Wolbachia di Singapura dalam upaya meredam penyebaran demam berdarah dengue alias DBD yang ditularkan nyamuk aedes aegypti. WMP bahkan menyatakan nyamuk Wolbachia di negara itu bukan bagian dari programnya.
CEO WMP Scott O’Neill mengatakan, Singapura tidak menggunakan teknologi WMP. Meski negeri Singa itu menggunakan bakteri Wolbachia, mereka menyebarkannya hanya melalui populasi nyamuk jantan alias male mosquito population.
“Jika jantan yang dilepaskan dan kawin (dengan) nyamuk liar maka telur-telur tidak menetas," kata O'Neill dalam rapat dengar pendapat antara Komisi IX dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dikutip dari akun YouTube Komisi IX di Jakarta, Rabu (29/11/2023).
Yang diterapkan di Singapura berbeda dengan teknologi WMP yang memiliki tiga transmisi Wolbachia pada nyamuk aedes aegypti. Pertama, terjadi saat nyamuk jantan berbakteri wolbachia kawin dengan nyamuk betina berwolbachia sehingga penetasan telur menghasilkan nyamuk berwolbachia.
Kedua, nyamuk jantan tak berwolbachia kawin dengan betina berwolbachia sehingga tetasan telur menghasilkan nyamuk berwolbachia. Ketiga, terjadi saat nyamuk jantan berwolbachia kawin dengan betina tidak berwolbachia sehingga telur tidak akan menetas.
Sebelumnya, Mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Siti Fadilah Supari mengungkapkan Singapura yang tadinya mengikuti program WMP justru mengalami kenaikan kasus DBD hingga 2 kali lipat. Akhirnya pemerintahnya mengundurkan diri dari proyek itu.
"Apakah kalau singapura berani keluar kita mesti nurut-nurut saja. Itulah kepentingan WMP bukan kepentingan kita," timpal Siti Fadilah.
Metode wolbachia juga, sambung dia, gagal diterapkan di Sri Lanka setelah melakukan uji coba selama 3 tahun. "Jadi setelah 3 tahun diuji-cobakan timbullah nyamuk yang lebih ganas di negara itu," tukasnya.
Siti Fadilah menegaskan, Indonesia sudah mempunyai cara-cara dari Kemenkes yang baik untuk mencegah DBD. “Kapan kita butuh nyamuk itu untuk membantu kita mengendalikan? Itu belum sekarang atau bukan sekarang. Banyak hal yang kita pelajari di sini," tuturnya.
Terkait kegagalan Wolbachia di Sri Lanka, O'Neill kembali membantahnya. Program tersebut sudah berjalan dalam skala kecil di dua distrik di Colombo sebelum krisis keuangan. Karena krisis tersebut, program harus dihentikan untuk fase pertama.
"Karena fase pertama sudah selesai di dua distrik ini, dan dilaporkan tidak ada kasus dengue baru atau tinggi secara lokal di dua distrik tersebut. Jadi bisa dibilang Sri Lanka itu, itu sebagai pilot project treatment Wolbachia," tuturnya.
Sedangkan di Brasil, sambung O’Neill, WMP sudah bekerja sama dengan pemerintah selama lebih dari 10 tahun terkait pengembangan Wolbachia. Saat ini Brasil sudah menggunakan bakteri tersebut di 5 kota.
"Kemudian pemerintah adalah yang memimpin deployment (penyebaran) nyamuk dan monitoring ini sejak tahun 2021 sampai 2023. Selanjutnya public health benefits sudah dihitung dan diukur sudah sangat sukses di kota Rio dan Niteroi," ujar O'Neill.
Pihaknya kemudian melanjutkan kerja sama dengan membangun Mosquito Manufacturing Factory for National Deployment (pabrik nyamuk) dengan kapasitas 100 juta nyamuk per pekan.
“Karena brasil akan ekspansi yang mulanya hanya dari 5 kota menjadi ke seluruh negara Brasil, jadi dibutuhkan dengan jumlah nyamuk yang banyak," ungkap dia.
Uji coba Wolbachia sudah dilakukan di Brasil selama 3 tahun mulai dari 2017 hingga 2023. Selama diterapkan metode ini, angka penyebaran DBD mulai mendatar atau nyaris mendekati 0 kasus.
"Jadi WMP bekerja sama dengan goverment Brasil untuk membangun dan mengoperasikan WMP dalam men-support deployment ini secara nasional," imbuhnya.
- Penulis :
- Yohanes Abimanyu
- Editor :
- Ahmad Munjin