
Pantau.com Peneliti Saeful Mujani Research & Counsulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengatakan buzzer di media sosial tak lagi efektif di Pilpres 2019 mendatang. Menurut Saidiman, saat ini masyarakat menunjukkan tren makin cerdas dalam menghadapi pesta demokrasi lima tahunan itu.
Baca juga: Ferdinand Hutahaen: Buzzer Politik Perlu, tapi Banyak yang Tidak Beretika
"Ada fenomena politik kita saat ini tiap hari masyarakat kita semakin cerdas dalam menentukan pilihannya," kata Saidiman dalam acara Diskusi Publik bertema 'Buzzer Politik di Media Sosial, Efektifkah?' yang diselenggarakan Lingkar Studi Politik Indonesia (LSPI) di Jakarta, Jumat lalu.
"Kian hari masyarakat makin cerdas dalam tiap pemilu. Misal parpol pemenang pemilu berubah-ubah, bahwa pada publik ada sesuatu yang bekerja yaitu nalar mereka. Ada aspek rasional yang jalan," sambungnya.
Saidiman menambahkan, jika berkaca dari pemilu sebelumnya yakni Pemilu 2014, saat itu publik mudah termakan isu hoax. Pasalnya, dua kandidat yang bertarung termasuk orang baru dalam pemerintahan. Saat itu Joko Widodo bukanlah siapa-siapa sebelum menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI, sementara Prabowo Subianto tidak mempunyai rekam jejak mentereng di pemerintahan.
"Makanya saat itu masyarakat bingung sehingga kabar hoax mudah sekali tercipta," katanya.
"Sementara tahun 2019 dengan rasionalitas bisa berubah baik. Situasi tahun 2014 tidak ada petahana, tahun 2019 akan kembali ke pola (Pemilu) 2009 atau 2004. Publik dihadapkan platformnya bagus dan memiliki rekam jejak yang bagus maka cenderung masyarakat akan memilih dibanding yang tidak memiliki sama sekali," kata Saidiman.
Ia memandang fungsi media mainstream seperti koran atau televisi masih dipercaya masyarakat. Menurutnya, isu yang digunakan buzzer sejatinya isu di media mainstream dan telah direproduksi. Kehadiran media mainstream juga dianggap bisa meluruskan isu yang dikeluarkan buzzer.
Baca juga: Sering Dipandang Buruk, Buzzer Politik Juga Bisa Positif Jika di Jalur yang Tepat
"Soal buzzer politik tentu perdebatan tapi media mainstream dianggap lebih berperan. Di sosmed mereka mereproduksi dari media mainstream. Orang enggak baca kalau enggak ada di mainstream," ucapnya.
- Penulis :
- Gilang