
Pantau - Tawaf sebagai salah satu rukun utama dalam ibadah haji dan umrah wajib dilakukan dalam keadaan suci, yaitu dengan memiliki wudu yang sah.
Namun, kondisi di sekitar Ka'bah yang sangat padat kerap membuat jemaah bersentuhan fisik dengan jemaah lain, termasuk yang berlainan jenis kelamin.
Menurut KH Ahmad Kartono, penulis buku Fikih Kontemporer Haji dan Umrah, berdasarkan mazhab Syafi'i, wudu seseorang bisa batal jika bersentuhan kulit dengan lawan jenis non-mahram.
Solusi: Berpindah Mazhab untuk Menghindari Kesulitan
KH Ahmad Kartono menjelaskan bahwa dalam konteks tawaf, kondisi ini bisa menyulitkan karena jemaah harus terus-menerus mengulang wudu setiap kali bersentuhan.
Jika wudu batal, jemaah diwajibkan mengulang wudu dan melanjutkan tawaf dari tempat terakhir yang ditinggalkan.
Untuk mengatasi hal ini, Kartono menyarankan jemaah agar berpindah mazhab sementara dalam persoalan ini dengan mengikuti mazhab Hanafi.
Dalam mazhab Hanafi, wudu tidak batal hanya karena terjadi sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, selama tidak disertai syahwat.
Kartono menegaskan bahwa berpindah mazhab untuk kasus-kasus tertentu diperbolehkan dan sah, asalkan masih berada dalam koridor empat mazhab fiqih yang diakui.
Referensi Fikih dan Praktik Wudu ala Hanafi
Ia juga menyarankan jemaah untuk memperdalam pemahaman melalui kitab al-Ifshah ala Masailil Idhah yang menjelaskan dasar-dasar fiqih dalam mazhab Hanafi.
Sebagai contoh, dalam mazhab Hanafi, mengguyur air ke bagian kepala sekitar ubun-ubun sudah mencukupi sebagai salah satu bagian wajib dalam wudu.
Dengan mengikuti panduan mazhab Hanafi, jemaah diharapkan dapat menyelesaikan tawaf tanpa merasa cemas harus berulang kali mengulang wudu akibat senggolan fisik yang tak terhindarkan.
- Penulis :
- Gian Barani










