
Pantau - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pentingnya negara-negara ASEAN menjaga daya saing industri besi dan baja di tengah ketidakpastian ekonomi global, terutama akibat tarif struktural sebesar 25 persen terhadap besi, baja, dan aluminium yang diberlakukan secara global.
Airlangga menyampaikan hal ini saat membuka acara Iron Steel Summit & Exhibition Indonesia (ISSEI) 2025 di Jakarta Convention Center pada Rabu, 21 Mei 2025.
Ia menekankan bahwa ASEAN sebagai salah satu produsen baja terbesar dunia harus memperkuat kolaborasi regional agar mampu bertahan dalam persaingan global yang semakin ketat.
Airlangga menyatakan bahwa ketiga komoditas—besi, aluminium, dan baja tahan karat—harus dilihat sebagai satu kesatuan strategis karena tarif diberlakukan tanpa membedakan jenisnya.
Kolaborasi Regional dan Tantangan Global
Dalam acara tersebut, dilakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) ASEAN Iron & Steel Council oleh Board of Directors dari enam negara anggota: Malaysia, Indonesia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Airlangga menyebutkan bahwa ASEAN dengan jumlah penduduk sekitar 600 juta orang dan ekonomi senilai lebih dari 3 triliun dolar AS merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri besi dan baja.
Ia juga menyoroti bahwa situasi global, seperti perang tarif antara Amerika Serikat dan China, memberikan tantangan sekaligus peluang bagi ASEAN untuk menjaga stabilitas kawasan Indo-Pasifik.
Tantangan lainnya datang dari kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa, yang mengenakan tarif tambahan terhadap produk-produk beremisi karbon tinggi, termasuk baja.
Selain itu, Airlangga memperingatkan akan potensi masuknya produk baja hasil kelebihan pasokan (oversupply) dari China ke pasar Indonesia.
Strategi Keberlanjutan dan Penguatan Industri Domestik
Menanggapi tantangan tersebut, Airlangga menekankan pentingnya strategi menuju produksi yang berkelanjutan dan ramah lingkungan di kawasan Asia Tenggara.
Ia juga menyetujui pandangan Ketua South East Asia Iron and Steel Institute (SEAISI) bahwa teknologi harus menjadi salah satu fokus utama dalam diskusi kebijakan industri baja ke depan.
Pemerintah Indonesia sendiri tengah meninjau ulang regulasi anti-dumping untuk mencegah banjirnya produk impor dari luar negeri yang berpotensi merugikan industri domestik.
Airlangga menjelaskan bahwa industri nasional perlu diperkuat, terutama melalui integrasi dari hulu ke hilir agar lebih efisien dan memprioritaskan pasar dalam negeri.
Ia juga menyoroti bahwa industri pengolahan masih menjadi kontributor utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dengan kontribusi sebesar 19,25 persen pada triwulan I tahun 2025 dan pertumbuhan 4,55 persen.
Tren Konsumsi dan Pertumbuhan Ekspor
Selama lima tahun terakhir, ekspor besi dan baja nasional tumbuh sebesar 22,18 persen.
Konsumsi baja nasional juga meningkat signifikan dari 11,4 juta ton pada tahun 2015 menjadi 17,4 juta ton pada 2023.
Pada tahun 2024, konsumsi baja diperkirakan mencapai 18,3 juta ton dan proyeksinya akan terus meningkat hingga 47 juta ton pada tahun 2035.
Airlangga menutup pernyataannya dengan mengajak seluruh pemangku kepentingan di sektor besi dan baja untuk bersama-sama menjaga keberlanjutan industri yang menjadi tulang punggung pembangunan ekonomi nasional dan kawasan.
- Penulis :
- Arian Mesa