
Pantau - Direktur Ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai bahwa rencana pemerintah menghapus batas usia kerja dapat menjadi solusi efektif di tengah meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia menyatakan bahwa kebijakan ini memberikan peluang bagi masyarakat berusia 30–40 tahun ke atas yang terdampak PHK untuk kembali masuk ke pasar kerja formal.
Nailul menyebut pembatasan usia dalam proses rekrutmen bersifat diskriminatif, dan kerap menghalangi individu yang sebenarnya masih produktif.
Selain itu, ia mendukung penghapusan narasi "berpenampilan menarik" dalam iklan lowongan kerja karena dianggap subjektif dan tidak relevan dengan kompetensi kerja.
Menurutnya, korban PHK usia dewasa umumnya menghadapi kesulitan besar untuk memperoleh pekerjaan kembali, meskipun beban ekonomi mereka lebih tinggi.
Pemerintah Kaji Regulasi, SE Larangan Penahanan Ijazah Sudah Diterbitkan
Nailul menilai bahwa banyak perusahaan membatasi usia tenaga kerja demi menekan biaya, dengan lebih memilih pekerja muda yang dinilai lebih murah secara struktural.
Akibatnya, korban PHK usia dewasa banyak yang akhirnya beralih ke sektor informal yang kurang menjamin kesejahteraan jangka panjang.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengonfirmasi bahwa pihaknya masih mengkaji usulan penghapusan batas usia kerja, dan hasil kajian akan menjadi dasar penerbitan regulasi berbentuk imbauan atau surat edaran (SE).
Yassierli juga menyampaikan bahwa Kementerian Ketenagakerjaan telah menerbitkan SE No. M/5/HK.04.00/V/2025 yang melarang penahanan ijazah atau dokumen pribadi pekerja oleh perusahaan.
SE ini dikeluarkan sebagai respons atas maraknya praktik penahanan ijazah oleh pemberi kerja dalam waktu yang berkepanjangan.
Per 20 Mei 2025, jumlah kasus PHK telah mencapai 26.455 kasus, dengan tiga wilayah terdampak terbesar adalah Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau.
Adapun sektor yang paling terdampak mencakup sektor pengolahan, perdagangan besar/eceran, dan jasa.
- Penulis :
- Balian Godfrey