
Pantau - Setiap akhir pekan, Ruben terlihat menjemur biji kenari di halaman rumahnya di Pulau Pantar, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Ia meratakan biji-biji itu di atas terpal biru sebagai bagian dari proses pengeringan.
"Beginilah aktivitas saya setiap akhir pekan. Sedari pagi buta saya turun ke pasar mengumpulkan kenari dari warga petani, lalu pulang dan langsung mengolahnya," kata Ruben, lulusan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang yang bekerja sebagai tenaga teknis lapangan di UPT Maliang sejak 2014 dengan gaji Rp400.000 per bulan.
Sejak 2022, Ruben memilih menjadi pengepul kenari setelah mengikuti program pendampingan dari Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) dan Pemkab Alor yang menggandeng BRIN.
Dari Pantar ke Pasar Nasional
Kenari Pantar dikenal unggul dalam ukuran, lemak, protein, magnesium, dan minyak alami. Ruben membeli kenari tanpa cangkang dari petani dengan harga Rp30.000–Rp36.000/kg.
"Dulu bisa Rp20.000-an, tapi karena pasar sudah bagus harga bagus. Apalagi saya tahu beban warga dari kampung-kampung di bukit sana. Mereka perlu ongkos turun ke pasar. Jadi saya bantu dengan beli lebih tinggi. Sekarang cuma saya pengepul R1 di Pantar," ujarnya.
Proses pengolahan dilakukan di rumahnya dengan bantuan sebelas ibu rumah tangga, diawasi oleh Yuliance Sika alias Mama Ule.
"Hari ini ada 32 kilogram kacang kenari yang kami kupas. Tidak terlalu banyak. Kalau musim panen, bisa sampai lebih dari tiga kilo sekali kerja," kata Mama Ule.
Setiap kilogram kenari kupas dibayar Rp10.000 untuk para ibu pekerja. Kenari yang sudah dikupas lalu dijemur selama dua hingga tiga hari di ruang pengeringan berukuran 3x4 meter.
Produk kenari dikirim ke Banjarmasin, Jakarta, Kupang, dan Labuan Bajo dengan harga jual Rp65.000/kg untuk kenari berkulit dan Rp90.000/kg untuk kenari kupas. Dalam seminggu, Ruben bisa mengirim hingga 100 kg.
Pada musim panen raya Maret–Mei, omzet Ruben mencapai Rp4 juta hingga Rp7 juta per minggu. Penghasilannya disisihkan untuk pendidikan anak-anak dan mendukung kegiatan gereja.
Kenari Jadi Identitas dan Simbol Kemandirian
Mama Asnad (60), pengumpul kenari dari perbukitan Pantar, menggunakan hasil penjualan kenari untuk kebutuhan dapur dan biaya kuliah anaknya.
Kenari juga menjadi bagian penting dalam kuliner lokal, seperti jagung bose yang disajikan dengan ikan atau gurita bakar dan sambal terasi.
Pemerintah Kabupaten Alor menjadikan kenari sebagai komoditas unggulan dan bagian dari identitas daerah.
"Kenari ini tumbuh alamiah dan khas Alor. Rasanya unggul, nutrisinya tinggi, dan bisa jadi ikon daerah," kata Bupati Alor Iskandar Lakamau.
Kenari tersebar di Pantar, Leilanduhi, Sebanjar, Kamot, dan Bukapiting. Pemerintah juga membentuk komunitas perlindungan, bekerja sama dengan WVI untuk sertifikasi indikasi geografis, dan mendorong pengolahan kenari secara lokal.
"Kami ingin kenari tidak hanya menjadi hasil hutan, tapi dibudidayakan secara terencana dan berkelanjutan," ujar Bupati Iskandar.
Bagi Ruben dan warga lainnya, kenari adalah lebih dari sekadar komoditas—ia adalah simbol kemandirian dan keberlanjutan hidup.
- Penulis :
- Balian Godfrey