
Pantau - Yusril Ihza Mahendra mengimbau masyarakat Aceh agar tidak salah paham terhadap pernyataannya terkait kedudukan MoU Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dalam penyelesaian status empat pulau yang sebelumnya menjadi polemik antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.
Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang sebagai bagian dari wilayah administrasi Provinsi Aceh.
Namun, sejumlah tokoh masyarakat Aceh menanggapi pernyataan Yusril dengan keliru, sehingga memicu kesalahpahaman terkait sikapnya terhadap MoU Helsinki.
Klarifikasi Yusril Soal MoU Helsinki dan Batas Wilayah
"Tak seorang pun di negara ini yang menafikan peranan MoU Helsinki sebagai titik tolak penyelesaian masalah Aceh antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah RI," ungkap Yusril.
Ia menjelaskan bahwa dirinya menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara saat perundingan Helsinki berlangsung dan turut terlibat dalam diskusi internal serta tindak lanjut hasil kesepakatan damai tersebut.
Selain itu, bersama Menteri Dalam Negeri saat itu, Mohammad Ma’ruf, ia ditugaskan Presiden untuk membahas RUU Pemerintahan Aceh dengan DPR hingga berhasil disahkan menjadi undang-undang.
Menurutnya, MoU Helsinki merupakan semangat awal penyelesaian konflik antara pemerintah pusat dan Aceh, namun tidak menjadi dasar hukum langsung dalam penentuan status empat pulau yang diperdebatkan.
Dasar Hukum Penetapan Pulau dan Kesepakatan 1992
Yusril menegaskan bahwa MoU Helsinki mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 sebagai acuan wilayah Aceh, namun UU tersebut hanya mencantumkan kabupaten-kabupaten, tanpa menyebutkan secara eksplisit status empat pulau tersebut.
"Sementara status empat pulau, sepatah kata pun tidak disebutkan dalam undang-undang tersebut," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa penentuan batas daerah harus mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan batas daerah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
"Itu kalau undang-undang tentang pembentukan provinsi, kabupaten, dan kota yang baru tidak menentukan secara jelas batas-batas koordinat daerah yang dimekarkan itu. Itu inti penjelasan saya," ujarnya.
Keputusan Presiden Prabowo, menurut Yusril, merujuk pada kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, dan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, yang dibuat pada tahun 1992 berdasarkan arahan Presiden ke-2 RI Soeharto dan Mendagri Rudini.
"Rujukan detailnya bisa mengacu kepada rujukan lain seperti Kesepakatan Tahun 1992 tersebut," jelasnya.
Komitmen Yusril untuk Aceh Sejak Lama
Yusril mengaku heran atas tuduhan bahwa dirinya tidak menghargai MoU Helsinki hingga mendapat kecaman dari sejumlah pihak.
Ia menegaskan bahwa komitmennya terhadap Aceh telah berlangsung lama, bahkan sejak ia dikenalkan kepada Tengku Muhammad Daoed Beureueh oleh gurunya, Prof. Osman Raliby, pada tahun 1978.
Bahkan, ia menyebut bahwa dirinya telah mengusulkan nama Nanggroe Aceh Darussalam dan keberadaan Qanun Aceh sebelum lahirnya MoU Helsinki.
"Saya kualat dengan Tengku Daoed Beureueh dan Prof. Osman Raliby kalau sampai saya tidak membantu masyarakat Aceh," ujarnya.
- Penulis :
- Arian Mesa
- Editor :
- Tria Dianti